Sabtu, 26 Desember 2009

Perdebatan tentang Transendensi dan Imanensi Allah dalam Monotheisme Islam-Kristen

(Studi tentang Kritik Abu Isa al Warraq dan Abd al Jabbar atas Doktrin Trinitas)

1.       Pengantar
Salah satu tema perdebatan antara umat Islam dan Kristen dalam penghayatan iman dan hidup keberagamaannya adalah tentang monotheisme tawhid dan monotheisme trinitas. Bagi umat muslim, doktrin trinitas ditolak dengan tegas karena melanggar prinsip keesaan Allah. Pertentangan tentang monotheisme tawhid dan monotheisme trinitas ini menjadi tema perdebatan yang telah berlangsung berabad-abad. Bahkan perdebatan teologis mengenai hal ini telah muncul sejak abad awal Islam dan abad awal bagi Kristianitas dalam menetapkan doktrin Trinitas. Dari kalangan Islam kala itu, tokoh-tokoh mutakallim (teolog Islam) dari kaum Mutazila mulai mengkritik dan mempertanyakan tentang doktrin Trinitas sebagai bagian dari pergulatannya atas ‘kalam’. Sementara itu, dari pihak Kristiani, para Bapa Gereja (teolog dan apologet) pun memunculkan refleksi teologis yang terus berlanjut dalam rangka memahami Allah dalam Trinitas.
Dalam tulisan ini, akan dipaparkan tentang kritik dua tokoh mutakallim Mutazila tentang Trinitas dan ajaran serta sejarah Kristianitas yang hidup sekitar abad ke-9/10. Dua tokoh itu adalah Abu Isa al Warraq dan Abd al Jabbar. Kritiknya terhadap Kristianitas dengan segala perjalanan sejarah serta doktrin-doktrinnya tentang Allah telah memperkaya khasanah teologis bagi Islam maupun Kristen. Melalui kritik dan perdebatan tentang Islam-Kristen ini, setidaknya setiap umat beriman ditantang untuk berani mempertanggungjawabkan imannya demi suatu dialog teologis yang konstruktif. Perdebatan dan penelusuran akan Allah ini pertama-tama bukan untuk memasung Allah dalam pemikiran manusia, tetapi dalam rangka membuka kejernihan akal budi akan pewahyuan Allah yang hadir dalam kebebasan dan perjuangan manusia itu sendiri dalam menangkap Dia.

Minggu, 06 Desember 2009

Konflik Islam Kristen: Konflik Identitas atau Nilai?

            Dalam catatan hariannya yang tertanggal 13 Desember 1971, Ahmad Wahib[1] menulis sebuah risalah yang diberinya judul: ‘Bunda Maria Dalam Mimpi’. Secara jujur dan vulgar, ia menulis demikian:
Tadi malam aku bermimpi bertemu Bunda Maria. Dia berbaju putih, berwajah agung penuh kekudusan. Bunda Maria tersenyum dan memandangku. Aku merasa bahagia dan sejuk dalam pandangan kasihnya. Aku sendiri bukan penganut Kristen. Tapi aku tidak tahu mengapa aku merasa memperoleh kedamaian dan kebeningan pikir sewaktu berhadapan dengannya. Adakah yang seperti itu akan terjadi dalam hidupku yang nyata?
Aku  merindukan dia yang penuh kebijaksanaan, yang pandangannya lembut dan teduh, yang setiap pernyataan pribadinya membuatku kagum dan hormat.[2]
Ungkapan ini terasa amat jujur dari seorang yang mengalami sapaan rohani dari sosok bijaksana dan penuh kasih Bunda Maria, yang oleh kalangan umat Kristiani diimani sebagai Bunda Kristus Sang Penyelamat. Melalui ungkapan ini, Ahmad Wahib menunjukkan kebebasan hatinya dalam menjalin relasi dengan kelompok agama lain bukan dari identitasnya tetapi dari kedalaman nilai rohani yang didapatnya. Ia adalah seorang Muslim yang taat. Dan ia benar-benar menjadi seorang yang sungguh Muslim ketika ia mampu mendialogkan keyakinannya dengan kebenaran lain di luar keyakinannya. Baginya, kebenaran hanya tercapai bila melalui dialog dengan yang lain. Oleh karena pandangan ini pula, Ahmad Wahib termasuk tokoh Islam yang memiliki wawasan liberal di Indonesia. Pemikiran-pemikirannya dalam catatan hariannya yang telah diterbitkan oleh LP3ES dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam telah mengajak segenap umat beriman di Indonesia ini untuk kritis terhadap imannya sendiri dan mau menekankan nilai esensial agama sebagai dasar penghayatan hidupnya.