Kamis, 26 Maret 2009

Kontroversi UU No.13 Tahun 2003


Pada tanggal 25 Maret 2003 disahkanlah UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan oleh DPR dan Presiden Megawati Soekarno Putri. Sebelum disahkan sebagai UU, Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut telah ditentang oleh para buruh dan serikat buruh karena pasal-pasal yang terkandung di dalamnya sungguh tidak berpihak pada buruh. UU No.13 Tahun 2003 tersebut dirasakan sebagai UU Tenaga Kerja yang lebih berpihak pada pengusaha di era pasar bebas demi pengembangan perekonomian negara. Tujuan di balik disahkannya UU tersebut adalah membuat pasar tenaga kerja di Indonesia semakin murah sehingga para investor mau mengembangkan investasinya di Indonesia. Dengan demikian, harapannya laju pertumbuhan ekonomi nasional melalui hadirnya investasi-investasi tersebut dapat dicapai dengan signifikan. Meski sebenarnya yang terjadi justru amat merugikan pihak buruh karena upah riil semakin rendah dan jaminan kesehteraannya pun tak lagi menjadi prioritas tanggungjawab para investor (pemilik perusahaan). Oleh karena UU ini dinilai masih terdapat pasal-pasal yang tidak memihak para buruh, akhirnya pada tahun 2006 UU tersebut direvisi. Revisi atas UU No.13 Tahun 2003 ini cukup kontroversial mengingat revisi tersebut justru semakin tidak menjamin keadilan bagi para buruh sebagai tenaga kerja. Dua hal krusial yang kontroversial dalam UU maupun revisinya adalah persoalan Hubungan Kerja yang menyangkut tentang kontrak kerja dan hal upah atau pesangon. Dalam hal persoalan kontrak kerja ini, pasal-pasal yang cukup kontroversial dalam revisi UU tersebut antara lain: Pasal 59 ayat (1): Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan yang pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: (a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; (b) pekerjaan yang diperkirakan-penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun; (c) pekerjaan yang bersifat musiman; (d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Kontroversi pada revisi pasal 59 ini adalah: pada ayat 1: pekerjaan yang dilakukan atas dasar jangka waktu tertentu akhirnya tidak hanya menyangkut pekerjaan tertentu tetapi dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan. Dengan demikian, perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja buruh sesuai dengan keinginan produksinya berdasarkan kontrak kerja yang mereka buat, dengan jenis pekerjaan apa saja. Tenaga kerja menjadi komoditi yang sewaktu-waktu bisa dibuang begitu saja dan mengganti dengan tenaga kerja lainnya dengan jaminan hukum yang sama. Tak ada kepastian bagi buruh untuk dapat menjadi seorang tenaga kerja tetap.
Kontroversi selanjutnya atas revisi pasal 59 ini adalah perubahan pada ayat 6 yang tertulis demikian: Dalam hal hubungan kerja diakhiri sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan karena pekerja/ buruh melanggar ketentuan di dalam perjanjian kerja maka pekerja/ buruh tidak berhak atas santunan dan pekerja/ buruh yang bersangkutan wajib membayar ganti rugi kepada pengusaha sebesar upah yang seharusnya diterima sampai berakhirnya PKWT. Amat jelas bahwa ayat ini amat menguntungkan pihak perusahaan karena membebaskan tanggungjawab perusahaan untuk memberikan pesangon bagi buruh yang terputus kontrak kerjanya karena melanggar ketentuan kontrak. Hal ini jelas merugikan pihak pekerja. Pasal ini dapat disalahgunakan oleh pihak perusahaan untuk memutus para buruhnya tanpa harus membayar upah/pesangon dari buruh tetapi justru memberatkan para buruh karena harus membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan. Apa yang dilindungi oleh pasal ini adalah demi produksi, modal, dan kepentingan pengusaha saja.
Pasal revisi selanjutnya cukup kontroversial adalah dihapusnya pasal 35 ayat 3 yang tertulis: Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Dengan dihapusnya ayat dalam pasal ini, jelas bahwa tenaga kerja tidak lagi dijamin kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisiknya. Penghapusan ini menguntungkan pihak pemberi kerja untuk lepas dari tanggungjawab moralnya terhadap perlindungan dan jaminan kesejahteraan para buruh.
Tentu masih ada beberapa pasal-pasal yang cukup kontroversial dalam revisi UU No.13 Tahun 2003 ini. Pembuatan revisi UU ini sendiri disinyalir dikerjakan oleh Bappenas, World Bank dan IMF tanpa menyertaikan Menteri Tenaga Kerja, Pimpinan Serikat Buruh dan Anggota DPR RI/D. Dengan demikian, jelas bahwa UU No.13 Tahun 2003 ini dengan setiap revisi pasal-pasalnya yang kontroversial itu dibuat demi kepentingan pengusaha para pelaku pasar bebas yang mengutamakan produksi dan pemupukan modal. Dalam hal ini, Pemerintah sebagai otoritas pembuat UU mendukung dan menjamin perkembangan investasi dari para pengusaha itu tanpa memperhatikan kesejahteraan para buruh. Dengan kata lain, melalui pasal-pasal kontroversial dalam UU serta revisinya tersebut, Pemerintah telah menjual warga negara mereka sendiri sebagai tenaga kerja murah dengan dalih perkembangan perekonomian bangsa demi pembangunan. Salah satu pembelaan Pemerintah atas jaminan kesejahteraan para buruh ini adalah melalui pemberlakuan UMR (Upah Minimum Regional) bagi para pengusaha. Pemberlakuan UMR ini pun sebenarnya justru memberikan kesempatan bagi para pengusaha untuk memainkan pasar tenaga kerja dengan memilih tenaga kerja dari daerah dengan UMR paling murah. Pemberlakuan UMR ini pun masih bersifat spekulatif karena kebutuhan dasar dan situasi pasar di suatu daerah tertentu bersifat fluktuatif (tidak tentu). Dengan pemberlakuan UMR ini, tenaga kerja dinilai setaraf dengan barang dagangan (komoditas), tentu hal ini sangat tidak adil bagi tenaga kerja yang memiliki daya tawar keahlian, ketrampilan, ataupun kekuatan dalam tingkat paling rendah (para buruh yang tidak memiliki keahlian, ketrampilan, ataupun kekuatan khusus tertentu demi produksi).
Menanggapi berbagai macam kontroversi ini, kiranya perlu ditinjau ulang dan dibuat kesepakatan baru antara para buruh, serikat pekerja, pengusaha, praktisi ekonomi, DPR, dan juga para investor dalam merumuskan revisi UU No.13 Tahun 2003 ini yang lebih adil. Dalam hal ini, pemerintah perlu tegas untuk melawan arus neo-liberal yang semakin mendegradasikan posisi buruh dalam perekonomian negara. Hal ini dapat dilakukan dengan menjamin kesejahteraan buruh dengan memperketat UU yang menyertai praktek outsourcing (hubungan kerja kontrak) atau dengan menghapus sama sekali praktek bisnis tenaga kerja model outsourcing ini. Selain itu dalam hal pemberian upah atau pesangon, perlu diperhatikan juga proporsi antara keuntungan perusahaan dengan gaji atau pesangon bagi para buruh. Dengan kata lain, nilai lebih (keuntungan perusahaan) tidak sepenuhnya masuk ke pundi-pundi pengusaha tetapi digunakan untuk meningkatkan upah buruh. Sebab hal ini juga akan meningkatkan daya beli para buruh yang berarti dapat menggerakkan sektor riil demi mengurangi kemiskinan. Harapannya, tenaga kerja dapat dihargai dengan semestinya.

Senin, 23 Maret 2009

Marilah Memilih Partai dan Caleg yang Menjunjung tinggi HAM


Pemilu Tahun 2009 tinggal beberapa minggu lagi. Dan kampanye terbuka masih bergulir. Dalam kampanye terbuka ini, setiap partai politik maupun caleg-calegnya tengah mensosialisasikan program-program yang mereka susun sebagai agenda politik bagi kemajuan bangsa ini. Berbagai model sosialisasi digunakan untuk menarik perhatian sebanyak mungkin warga agar mengenal, memahami dan akhirnya memberikan suaranya dalam pemilu nanti bagi partai politik dan para caleg itu. Meski kadang yang terjadi dalam kampanye tersebut tidak lebih sebagai ajang kompetisi antar partai dan caleg, namun diharapkan bahwa dengan adanya kampanye tersebut, terjadilah semacam diskursus gagasan, action plan, dan sebuah kontrak politik yang bertujuan untuk membangun bangsa ini di dalam situasi sosial kontemporer masyarakat bangsa Indonesia saat ini.
Pada pemilu tahun 2009 ini terdapat 44 partai politik peserta pemilu. Jumlah partai politik yang mencapai 44 ini tentu amat mencengangkan bagi sebagian orang yang tidak mengerti banyak tentang dunia politik. Bagi mereka, jumlah partai hingga 44 ini mungkin menampakkan adanya harapan tentang penghargaan terhadap keanekaragaman visi dan misi politik serta menjadi tanda akan naiknya tingkat keterlibatan setiap warga dalam dunia politik Indonesia, namun di sisi lain juga memunculkan semacam kecurigaan tentang realitas politik Indonesia pasca Reformasi yang tengah larut dalam eforia demokrasi model kompetisi. Kedua hal ini sangat positif bagi perkembangan kedewasaan demokrasi Indonesia selanjutnya, meski juga menyisakan sebuah pemikiran lebih lanjut tentang konsolidasi nasionalisme yang lebih signifikan. Mengapa harus dengan banyak partai jika setiap warga telah memiliki ‘kesaling pengertian’ tentang cita-cita nasionalisme yang sama demi bonnum communae Indonesia? Apakah tidak mungkin bahwa di balik banyaknya partai politik dengan berbagai macam haluan ideologis dalam visi misi mereka itu terdapat kenyataan bahwa kekuasaan di Indonesia merupakan hal yang prinsipiil untuk diperebutkan demi kepentingan golongan tertentu. Jika memang demikian adanya, tentu hal ini justru akan semakin mempersulit proses pencapaian bonnum communae itu, disamping juga justru membingungkan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi politiknya dalam pemilu.
Menyikapi banyaknya tawaran agenda politik yang diusung oleh para partai politik dan caleg-caleg itu, saya ingin mengusulkan kriteria-kriteria yang mungkin bagi para pemilih semuanya berkaitan dengan tanggungjawab sosial yang mesti mereka berikan dalam pemilu. Kriteria-kriteria yang saya usulkan ini merupakan sebuah pandangan yang bisa digunakan untuk menentukan pilihan kepada siapa dan partai apa suara kita hendak kita berikan berkaitan dengan tanggungjawab sosial demi bonnum communae. Kriteria-kriteria berikut hendaknya dimiliki oleh para partai dan para caleg yang kepada merekalah suara kita baik untuk diberikan. Memang kriteria-kriteria berikut ini amat idealis, akan tetapi paling tidak dengan mendasarkan pilihan kita pada kriteria-kriteria berikut, kita (paling tidak saya) telah memberikan tanggung jawab etis moral sebagai warga negara yang turut terlibat dalam kemajuan bangsa. Pertama-tama, saya mengajak kita semua untuk MEMILIH PARTAI DAN CALEG YANG MENJUNJUNG TINGGI HAM. Atau paling tidak memilih caleg dan partai yang paling sedikit bias kepentingan golongannya sendiri demi Menjunjung tinggi HAM universal. Lebih lanjut, partai politik dan caleg yang dapat kita pilih adalah:

  1. Partai politik dan caleg yang dengan tulus serta konsisten peka terhadap persoalan-persoalan seputar menjunjung tinggi HAM di Indonesia seperti misalnya: penanganan kasus penggusuran kaki-lima dan gelandangan, perlindungan terhadap para aktivis HAM seperti Munir dkk, memperhatikan korban bencana seperti Lumpur Lapindo, pendidikan berkelanjutan bagi rakyat miskin (dengan beasiswa misalnya), menangani kasus kekurangan gizi bagi anak-anak dengan program konkret dan berkesinambungan, memberi perhatian bagi para TKI, menggiatkan LSM-LSM yang memperhatikan tentang HAM seperti: penanganan kasus trafficking, kaum buruh, PRT, dan ancaman ekses buruk dari globalisasi.
  2. Partai politik dan caleg yang dengan tulus serta konsisten untuk bersikap tegas terhadap pemberantasan korupsi, menindak tegas secara hukum terhadap para spekulan-spekulan yang mengabdi secara total terhadap kapitalisme global, dan juga menertibkan para konglomerat yang tidak taat pajak.
  3. Partai politik dan caleg yang dengan tulus serta konsisten berusaha untuk menekankan efisiensi serta efektivitas energi/Sumber Daya Alam. Dalam hal ini, kepentingan partai mengarah pada usaha untuk menindak tegas para pengusaha/investor yang melakukan produksi dengan mengeksploitasi lingkungan alam dan sumber dayanya demi capital, sebagai contoh misalnya: illegal logging.
  4. Partai politik dan caleg yang dengan tulus, konsisten dan berani untuk menghentikan proyek-proyek pemerintah yang tidak memperhatikan keseimbangan ekologis serta jaminan masa depan warganya, yakni seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang jelas-jelas memiliki efek buruk ke masa depan. Hal ini juga terjadi pada pertambangan yang cenderung eksploitatif seperti tambang mineral, air minum, dan pasir di Merapi.
  5. Partai politik dan caleg yang dengan tulus, konsisten dan mau ‘berkotor tangan’ untuk memelihara budaya-budaya lokal berikut local wisdom yang telah ada.
  6. Partai politik dan caleg yang berjiwa nasionalis Indonesia, memiliki penghargaan terhadap sejarah bangsa, perjuangan para pahlawan, terbuka terhadap realitas pluralisme Indonesia dan bernalar dialogis. Hal ini didukung oleh suatu sikap menjunjung tinggi etika politik dengan kesadaran bahwa political action pertama-tama adalah demi bonum communae (kesejahteraan bangsa) dan bukan demi kepentingan golongan atau kepentingan partai/individu.
  7. Parta politik dan caleg yang mampu bersikap kritis terhadap kekuasaan. Kekuasaan bukan pertama-tama sebagai tujuan dari political action/political decision, tetapi lebih sebagai sarana pengabdian demi bonum communae dan menjunjung tinggi harkat martabat segenap warga.
  8. Partai politik dan caleg yang berkomitmen untuk menjamin terciptanya hukum yang adil berdasarkan rasionalitas komunikatif dimana warga dipandang sebagai sesama subjek. Dengan demikian, proses politik adalah relasi inter-subjektif yang didasari oleh penghargaan atas kemerdekaan pribadi serta rekonsiliasi terus menerus (social reconciliation as unfinished political project).
  9. Akhirnya, kita bisa memilih partai politik dan caleg yang berkomitmen untuk terus menerus mengusahakan proses internalisasi nilai-nilai dan falsafah Pancasila sebagai dasar dari setiap political action di Indonesia sesuai dengan konteks sosial yang ada. Komitmen ini didukung dengan sikap beriman yang rasional dan kritis dalam rangka mempertanggungjawabkan kepercayaan warga yang telah mewakilkan suaranya pada partai politik serta caleg itu.

Majulah Indonesiaku. Kau kucinta dalam setiap detak nadiku.

Salam,
yohanes ari purnomo

Kamis, 12 Maret 2009

Anak Kolong: Nasionalis?


Menelusuri jejak Nasionalisme dalam Novel Burung-burung Manyar karangan Romo YB. Mangunwijaya, Pr

Membaca kembali novel Burung-burung Manyar karangan Romo Mangunwijaya benar-benar mengaduk-aduk emosi dan rasio saya. Benar-benar sebuah novel yang sentimentil dan kompleks. Di dalam novel itu, persoalan-persoalan seputar filsafat manusia, esensi tanah air, makna pahlawan, dan realitas kemerdekaan dimunculkan dan digugat (demi sebuah penelurusan ke arah refleksi yang lebih dalam). Menjelma dalam sosok Teto (Setadewa)1, pemikiran Romo Mangun yang kritis terhadap hal-hal yang disebut diatas dirangkai dalam narasi ringan nan berbobot. Disertai dengan butir-butir refleksi kearifan yang mendalam tentang makna realitas kehidupan, Romo Mangun menampilkan kembali kompleksitas manusia berkaitan dengan relasi sosial, kultural dan politik dalam bingkai sejarah terlahirnya bangsa (negara?) Indonesia. Mengambil setting sejarah Indonesia zaman kemerdekaan (di sini pula Romo Mangun bermaksud melempar perdebatan apa sesungguhnya arti kemerdekaan), beliau menuangkan pergulatan idealisme tentang kemanusiaan secara utuh dalam suatu percaturan sistem sosial yang terus bergulir dengan bermacam dinamikanya. Teto, yang adalah seorang anak Kapitein KNIL Jawa tulen dan seorang noni totok Belanda, menjadi tokoh utama. Pemilihan identitas tokoh utama sebagai seorang Indo ini merupakan titik awal pergulatannya tentang realitas manusia di tengah-tengah ‘panggilan’nya menjadi seorang warga suatu nasion (bangsa) tertentu. Identitas Indo ini dinilai menjadi perpaduan antara Jawa dan Belanda yang akhirnya memunculkan begitu banyak persoalan tentang apa artinya menjadi seorang manusia yang melampaui batas-batas ‘ikatan nasional tertentu’. Atau dengan bahasa negatif, tokoh Teto ditampilkan sebagai seorang tokoh yang mengalami kegamangan identitas sebagai suatu warga bangsa tertentu. Ia adalah orang Jawa sekaligus Belanda, atau bukan Belanda dan bukan Jawa. Teto, dari dirinya sendiri telah mengandung kontroversi.

Pergulatan tokoh Teto dalam menemukan jatidiri mengalir dalam peristiwa-peristiwa pahit yang dialaminya seputar zaman kemerdekaan Indonesia. Meski akhirnya ia memilih memihak Belanda namun motivasi ini bukan didasari oleh keyakinan bahwa pihak Belanda lebih benar daripada pihak Republik tetapi lebih pada motivasi manusiawi dalam menemukan kemerdekaan yang sesungguhnya. Sosok ayahnya menjadi inspirasi yang mendasari pilihan sikapnya itu. Kemerdekaan tidak terletak dalam keikutsertaannya dalam suatu pihak yang disebut sebagai kebenaran tetapi lebih pada keberanian untuk memilih. Meski akhirnya ia menyadari bahwa pilihannya ‘mungkin’ keliru dan ia harus melepaskan cintanya kepada Larasati, Teto tetap berdiri tegak sebagai seorang pribadi yang merdeka, sebagai pribadi yang mengatasi kungkungan idealisme tentang ‘nasional’. Jelas sekali disini Romo Mangun hendak mengatakan bahwa manusia itu nilainya lebih tinggi dari sekedar slogan ‘pribadi nasionalis’ yang lantas dielu-elukan sebagai seorang ‘pahlawan’. Bagi Teto, Belanda, Republik atau Jepang itu tak ada artinya jika manusia tetap saja mengalami keterasingan dan ketertindasan. Ini disadarinya kelak ketika akhirnya ia tahu bahwa motivasinya untuk memihak Belanda ini didasari oleh rasa dendamnya kepada ‘Jepang’ yang telah merenggut kehidupannya dengan menangkap ayahnya dan membuat maminya menjadi gundik perwira Jepang. Ia juga akhirnya kelak sadar bahwa pilihannya untuk memusuhi Republik yang dianggapnya menjilat Jepang demi kemerdekaan ‘elit-elit’ tertentu seperti Sukarno dan teman-temannya itu merupakan pilihan yang gegabah. Ia sadar bahwa ia terlalu men-generalisir apa itu yang disebut sebagai Jepang dan Republik, demikian juga dengan Belanda (NICA). Musuh Teto sebenarnya bukanlah Jepang atau Republik tetapi kelaliman yang menyebabkan keluarganya menderita. Ini tampak dalam dalam penggalan berikut: ‘Kesalahan Teto hanyalah, mengapa soal keluarga dan pribadi ditempatkan langsung di bawah sepatu lars politik dan militer. Kesalahan Teto hanyalah, ia lupa bahwa yang disebut penguasa Jepang atau pihak Belanda atau bangsa Indonesia dan sebagainya itu baru istilah gagasan abstraksi yang masih membutuhkan konkretisasi darah dan daging. Siapa bangsa Jepang? Oleh huruf-huruf hitam mati di koran memang disebut bangsa Belanda, kaum kolaborator Jepang dan sebagainya. Tetapi siapa bangsa atau kaum ini itu, bila itu dikonkritkan? Bila itu dipribadikan? Bila menghadapi Paijo atau Suminah, Willem van Dyck atau Koosye de Bruyn? ‘(Burung-burung Manyar, hal.136). Dari penggalan ini tampak jelas pergulatan Romo Mangun (lewat Teto) tentang memahami secara lebih dalam apa artinya sebuah ‘nasion’ (bangsa). Dengan nada ‘miris’ refleksi kesadaran Teto tentang abstraksi sebuah bangsa ini berlanjut demikian: ‘Yang menodai Bu Kapten (Mami Teto) bukan bangsa Jepang tetapi Ono atau Harashima. Dan karena kelaliman Ono atau Harashimalah seluruh bangsa Jepang dan kaum republik yang dulu memuja-muja Jepang dikejar-kejar. Pak Lurah dan Mbok Sawitri yang mengepalai dapur umum di desa, serta Pak Trunya yang dulu menolong Pak Antana tidak ikut-ikutan dengan kekejian Ono. Tetapi kesalahan semacam itu apalah artinya bagi Larasati. Teto tetap Teto, dan bukan ‘pihak KNIL’. (Burung-Burung Manyar, hal.136).

Kesadaran Teto bahwa pilihannya untuk memusuhi kaum republik dan sikap memihaknya terhadap Belanda ‘mungkin’ keliru ini telah terlambat. Meski demikian ia tidak pernah menyesal dengan pilihannya itu. Ia sadar, pilihannya yang mungkin keliru ini telah benar-benar menghancurkan impian-impiannya. Dunia politik dan militer yang mengatasnamakan ‘demi sebuah bangsa’ ini telah membuat hancur keluarga dan cintanya kepada Atik. Mereka berdua adalah korban dari kekejian ‘bangsa-bangsa’ yang saling bertikai. Mereka benar-benar gamang akan identitas mereka sebagai ‘pahlawan’ atau ‘pengkhianat’. Atas nama ‘bangsa’, kemanusiaan lantas dipinggirkan sedemikian rupa. Dan anehnya, Teto tidak menghakimi siapa yang salah dan siapa yang benar, ia hanya memerangi kelaliman. Meski untuk itu, ia harus mengalami berbagai macam kepahitan akibat dari sebuah perang ‘konyol’ akibat kolonialisme, imperialisme dan semacamnya, entah dari pihak otoritas Belanda, Jepang ataupun republik. Sedemikian kejamkah politik itu?

Pemihakkannya pada kemanusiaan ini pulalah yang selalu mengobarkan semangat Teto untuk tidak menyerah pada nasib. Meski dapat dibilang bahwa hidupnya berakhir tragis namun ia telah memperoleh banyak hal dari pergulatannya menghadapi kegetiran itu. Salah satu kesadaran yang mulai ia bangun di awal senja usianya adalah kesadarannya tentang Tanah Air yang sebenarnya. Sebenarnya kesadaran ini muncul berkat pertemuannya dengan seorang sersan mayor MP (polisi militer) di kerkop Magelang. Akhirnya ia menyadari bahwa Tanah air ada di sana, dimana ada cinta dan kedekatan hati, dimana tidak ada manusia menginjak manusia lain (Burung-burung Manyar, hal.186). Kesadaran ini menjadi akhir dari pergulatannya mengenai identitas dirinya yang serba gamang: ‘Sungguh kuli dan babu bangsa ini. Dan lebih lagi kau, Teto. Ya itu benar. Sudah lama aku sadar, bahwa sikapku yang begini ini sebetulnya ekspresi maksimal dari kekulian bangsaku. Bangsaku? Bukankah kau Teto, kau selalu mengujar terhadap sang Ambasador, kau berkebangsaan multi-nasional? Aku tidak bohong. Mamiku Indo dan aku, aku bekas KNIL’ (Burung-burung Manyar, hal.186). Pilihan sikapnya yang jelas untuk selalu memihak kemanusiaan yang ‘melampaui nasional’ ini akhirnya menjadi medan perjuangannya yang baru sebagai seorang manusia yang telah ditempa oleh sekian banyak pengalaman pahit akibat perang. Dengan gagah, Teto akhirnya menjadi manajer sebuah perusahaan minyak asing. Ia berani mengungkap segala kelaliman perusahaan itu yang telah merugikan Indonesia sekian milyar per tahun. Sebagaimana ‘burung manyar’, Teto mulai melolosi dan merombak sesuatu yang dinilainya gagal dan merajut lagi ‘sarang manyar’ yang baru: ‘Aku dulu masuk KNIL tidak untuk mencari gaji soldadu. Bukan juga demi petualangan tentara sewaan belaka. Aku memerangi kalian sebagai pembalas dendam ibuku, yang mengandungku dan yang dirusak kandungannya oleh Jepang. Memang kesalahanku ada pada identifikasi Jepang dengan Republik Indonesia. Tetapi maaf, terus terang kukatakan, bukankah banyak dari pimpinan pihak kalian bukan hanya murid, tetapi penerus konsekuen mental Jepang itu? Selama aku menjadi manajer perusahaan sesudah perang, aku baru mengenal segi-segi lain dari Jepang yang lebih positif. Tetapi dalam saat kala itu Jepang diperkenalkan pada kita dalam bentuknya yang fasis. Memang aku keliru dalam memilih sasaran, akan tetapi tidak dalam motivasi. Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta model-modelnya pada negeri ini; ya negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer. Dan inilah saat perhitunganku. Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran. Sekarang tidak’ (Burung-burung Manyar, hal.245).

Tulisan ini tentu hanya merupakan sebagian kecil refleksi tentang salah satu aspek pemikiran Romo Mangun tentang manusia, masyarakat, nasionalisme, budaya dan hal-hal lain dalam novel Burung-burung Manyar. Masih ada begitu banyak nilai dan falsafah hidup yang dapat dipetik dari gambaran kisah maupun tokoh-tokoh yang bergulat di dalamnya. Tak lupa pula tentang peran data, fakta serta lokasi sejarah tertentu yang ditampilkan dalam novelnya. Tentu itu semua memiliki pesan tertentu yang hendak disampaikan oleh Romo Mangun ataupun oleh otonomi teks itu sendiri. Harapannya, dari cerita itu semoga kita semua dapat belajar untuk semakin menjadi pribadi yang merdeka, mampu belajar dari banyak hal, pejuang kemanusiaan demi ‘tanah air sejati’ yang konsekuen, seperti anak-anak kolong yang tak peduli apakah dirinya nasionalis atau multi-nasionalis.

1 Romo Mangun mengambil nama Setadewa dari simbolisasi tokoh wayang Baladewa yang ketika perang Bharatayuda pecah, ia berada di pihak Kurawa meski kecintaannya pada para Pandawa tidaklah pernah berhenti berpijar.

Indonesia and Transnational Terrorism


by Chris Wilson Foreign Affairs, Defence and Trade Group 11 October 2001

Introduction
In the wake of the 11 September attacks on the United States, attention has turned to Indonesia, and the possibility of Islamic terrorist groups operating from or within that country. Indonesia has experienced a resurgence of Islamic activity since the fall of President Soeharto in 1998, but the vast majority of Indonesian Muslims practice a moderate form of the religion. Indonesia is the world's largest Islamic country, with 170 to 180 million Muslims out of a total population of around 215 million.(1) Although most Indonesians are concerned with the response of the United States to the terrorist attacks, the vast majority do not as yet support militancy. However, some Islamist organisations have become increasingly vocal in the weeks since the attacks. In addition, a number of reports have pointed to connections between these groups and transnational terrorist networks such as Al Qaeda, the organisation headed by Osama bin Laden. Rohan Gunaratna from the St Andrew's University Centre for the Study of Terrorism and Political Violence has stated recently that the Al Qaeda network has a number of cells active in Indonesia.(2)

Indonesian Islamist Organisations
There is no organised hierarchy of radical Islam in Indonesia, rather a number of largely unrelated groups. The main extremist Islamist organisations in Indonesia are Darul Islam, the Islamic Defender's Front and Laskar Jihad.(3) According to Al Chaidar, an Islamic activist and leader of one of eight factions of the Darul Islam network, the organisation is largely constituted by the approximately 15 000 Indonesians who returned from Afghanistan after fighting alongside the mujahadeen against the Soviet Union.(4)

Laskar Jihad is the most prominent and organised of Indonesia's radical Islamist organisations. In 2000, Laskar Jihad sent around 5000 armed militia members to the Maluku region in eastern Indonesia, where they are considered to be the main reason for continuing conflict there.(5) The government in Jakarta has been criticised for not preventing the activities of the organisation, some analysts suggesting the government is restricted in it's possible response, not wishing to appear 'anti-Islamic'.(6) The prospect of US retaliation for the terrorist attacks has boosted Laskar Jihad membership, with 300-400 joining since 11 September.(7) Laskar Jihad's popularity rests on more than its ability to support Muslims in conflicts, such as that in Maluku, the organisation also providing a strong sense of Islamic identity. Families of the young men fighting in Maluku also receive remuneration, funded by such activities as garment exports.(8) The country's ongoing economic crisis makes such organisations more appealing.

What Kind of Threat do Indonesian Islamist Organisations Pose?
Indonesia's top Islamic authority, the Council of Indonesian Ulemas followed President Megawati's meeting with President Bush (on 19 September) by calling for Muslims to unite and join a jihad (holy war) against the United States in the event of attacks against Afghanistan.(9) Similar threats have also been made by Laskar Jihad, Laskar Jundullah and the Islamic Defender's Front.(10) Some of these claims have since been moderated. Ulema Council spokesperson, Dien Syamsuddin, when asked if warnings of a jihad meant armed struggle, said that the term may mean any number of forms of struggle (including peaceful), and condemned plans to 'sweep' (locate and evict) US citizens in Indonesia. However, the impact of calls for a jihad must have been relatively predictable, the public likely to perceive the term in the literal sense of armed struggle.(11)

However, daily demonstrations are taking place in front of the US Embassy, one protest involving 4000 people on 28 September, and another on 8 October involving over a thousand members of a number of different organisations including the Islamic Defenders Front.(12) These demonstrations have been largely peaceful although Indonesian police fired warning shots to disperse protestors on 8 September,(13) and shouted threats outside the Embassy caused the US Ambassador, Robert Gelbard, to pressure the police for a plan to evacuate diplomatic staff. On 23 September, members of several Islamist groups calling themselves the Anti-American Terrorist Soldiers worked through the town of Surakarta in Central Jakarta searching for Americans to evict, although there are no cases of violence reported as yet.(14) Two powerful explosions were detonated in the busy Plaza Atrium Senen shopping mall in Central Jakarta on 23 September, although they have not as yet been linked to the 'war on terrorism'.

However, radical Islamist organisations and anti-American protests do not currently enjoy the support of the majority of the population. The vast majority of Indonesians practise a moderate form of Islam, excluding practices such as the veiling of women. This moderate position has been expressed by some Islamic leaders. Syafi'i Maarif, the chairman of Indonesia's second largest Islamic organisation, Muhammadiyah, said Indonesian Muslims should focus on the problems of the Afghan people, rather than attacking US citizens.(15)

Nonetheless, now that United States (and United Kingdom) missile strikes against Afghanistan have occurred, demonstrations across Java and elsewhere may become more widespread, greater in size and violent. Involvement in radical organisations may become more widespread if grievances against the US strikes combine with the perceived benefits of joining such organisations, and possible coercion on the part of the organisations. If the threats of the Islamist organisations discussed above are carried out following these attacks, the consequences could include a possible evacuation of foreign diplomatic and commercial staff, and a flight of tourists and investment. Some of these consequences have eventuated already. On 9 October, the Australian Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) issued a warning against travel to Indonesia. Non-essential staff of the US Embassy in Jakarta were withdrawn on 27 September, and the families of the staff of some American companies, such as Nike, have been evacuated.(16)

One of the major dangers posed by Indonesian radical Islamist groups may be to the Indonesian Government itself. While she was in the United States, President Soekarnoputri pledged Indonesian support to the US lead coalition against terrorism, receiving in turn from President Bush pledges of aid and loan guarantees.(17) In supporting the US lead war on terrorism, the government of Megawati Soekarnoputri may face difficulties fending off challenges from the Islamic parties in her coalition, who in turn will be pressured by Islamist sentiment. President Soekarnoputri has already been criticised in political circles. House Speaker Akbar Tandjung stated that she should be more critical of the US led attacks.(18) Concerns within the Indonesian Government have also become evident, with Vice President Hamzah Haz cautioning the United States against attacking a sovereign country with the aim of targeting terrorists. It is also possible that radical Islam may be aggravated and manipulated by those wishing to destabilise Megawati.

What is the Presence of Al Qaeda and Other Transnational Extremist Organisations?
For the past two years, the United States has warned that increasing Islamic militancy in Southeast Asia was creating a large pool of potential recruits for transnational terrorist networks. The United States Embassy in Jakarta had been on high alert since August after receiving intelligence from Europe of bomb threats and surveillance of the US Ambassador to Indonesia by Sudanese nationals linked to the Al Qaeda network.(19) According to Umar Juoro, an economist with the Habibie Centre, while the known radical Islamist organisations within Indonesia are manageable, the real problem lies with the activities of groups that are as yet not clearly identified.
Connections between the Islamist groups discussed above and transnational terrorist organisations or networks are often claimed but generally not corroborated. It was reported on 27 September that seven Afghan nationals flew into Ambon (Maluku) to a welcome from local police and the Laskar Jihad.(20) The Indonesian Director of Immigration, Muhammad Indra, has agreed it is likely that members of Afghan militias are entering Indonesia illegally.(21) On 27 September a Muslim activist and writer claimed that an envoy of Osama bin Laden had visited Indonesia at least four times, and that the radical Darul Islam movement and Al Qaeda enjoy a 'special relationship'.(22)

Indonesian students have long studied in the Islamic religious schools of Pakistan and elsewhere, and reports suggest growing numbers are being exposed to the same radical teachings as the Taliban. Throughout the 1990's the US Central Intelligence Agency (CIA) monitored 700-1500 Indonesian students travelling to the Middle East and suggests that 30-40 per cent never arrived at their stated destination. It is thought many of these joined the Taliban in the Afghanistan civil war.(23)

However, many of the Indonesian Islamist organisations deny involvement with Al Qaeda. While the leader of the Laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib, fought alongside the Mujahadeen in Afghanistan in the 1980's and met Osama bin Laden, he has stated that he has little respect for the Saudi terrorist.(24) According to Thalib, the Al Qaeda organisation approached the Laskar Jihad, but he had declined to become involved with the organisation. He also denied that there were any Afghan Mujahadeen in Maluku.(25) Ja'far does however support the attack on the United States, saying, 'it should be an important lesson for America.' Another Islamist organisation with supposed links to bin Laden, Majelis Mujahidin, also denies such links.(26) The Chairman of the Indonesian Ulemas Council, Nazri Adlani has described as 'slanderous', international reports that Indonesian Islamist organisations have become involved in global terrorist networks.(27)

There are also official claims of links between Indonesian groups and Southeast Asian terrorist and/or separatist organisations, although independent evidence for these is also largely inadequate. In August, Indonesian police arrested a Malaysian national following a bombing in the Atrium Plaza, and two others for bombings in churches throughout Indonesia.(28) Last year the Philippines Ambassador was injured in a bombing, and the Malaysian Embassy was attacked with a grenade. Carlyle Thayer, an expert on Southeast Asian security, has stated that there are groups of armed militia members that move around the region.(29) Ja'far Umar Thalib has stated the Laskar Jihad does have links to the Malaysian Kumpulan Mujahadeen Malaysia (KMM) Islamist organisation. Intelligence reports suggest these Southeast Asian groups may be linked to international terrorist networks. The suspected hijackers of the 11 September attacks were, according to US intelligence, sighted in the Philippines and Kuala Lumpur.

Conclusion
The impact on Indonesia of the terrorist attacks on the US and the US reaction and increasingly active local Islamist organisations is likely to be continued sporadic outbursts of protest and occasional violence. The relatively porous nature of Indonesian national borders and the weakness of the Indonesian Government in detecting terrorists, means that Indonesia may well serve as either a transit point or a sanctuary for international terrorists. However, the Indonesian Government has a narrow path to tread in protecting Indonesia from terrorist activity and ensuring the country is not used by terrorist networks as a sanctuary, and preventing the spillover of radicalism from Islamist organisations to moderate Indonesian Muslims.

Endnotes
T. Dodd, 'Megawati faces Muslim backlash', Australian Financial Review, 20 September 2001.
'International Terrorism: Where to From Here?', Vital Issues Seminar, Department of the Parliamentary Library, Parliament House, Canberra, 26 September 2001.
I am not considering the Free Aceh (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) organisation as a terrorist group in this discussion, as this group is in armed struggle with the Indonesian security forces.
'Osama envoy made several trips to Indonesia: Activist', The Straits Times, 27 September 2001.
See 'Indonesia: Overcoming Murder and Chaos in Maluku', International Crisis Group Report, no. 10, 19 December 2000. The Maluku conflict has been particularly bloody, with estimates of casualties since 1999 from 6000 to 9000, and the creation of hundreds of thousands of refugees.
J. Solomon & R. Hindryati, 'Indonesian Radicals Rally in Support of bin Laden-Western Agencies Suspect Organizational Ties', The Asian Wall Street Journal, 21 September 2001.
T. Dodd, 'Megawati risks Muslim rage', Australian Financial Review, 29 September 2001.
ibid.
'Indonesian clerics warn of jihad', CNN.com, 25 September 2001.
T. Dodd, 'Megawati faces Muslim backlash', op. cit.
Personal communication with Dr Greg Fealy, Australian National University, and T. Dodd, 'Megawati risks Muslim rage', ibid.
D. Harsanto & H. Abu, 'Militant groups rally outside US embassy against attacks on Afghanistan', The Jakarta Post, 9 October 2001.
'Indonesian protests turn violent', BBC Online, 9 October 2001.
'Terrorists Operate Freely in Surakarta', The Jakarta Post, 24 September 2001.
'Top Muslim leaders stress aid, not violence', The Jakarta Post, 2 October 2001.
'Mega slams radicals for anti-US threats', The Straits Times, 3 October 2001.
T. Mapes, 'Indonesia's US Ties Stir Militant Opposition-Groups Threaten to Attack American Interests', The Asian Wall Street Journal, 25 September 2001.
'RI expresses concern, urges US to limit strikes', The Jakarta Post, 9 October 2001.
J. McBeth, 'The Danger Within', Far Eastern Economic Review, 27 September, 2001, p. 20.
ibid.
T. Dodd, 'Megawati faces Muslim Backlash', op. cit.
L. Murdoch, 'Bin Laden 'funded Christian-haters', Sydney Morning Herald, 28 September 2001.
Many Indonesians are also thought to have joined the Mujahadeen struggle against the Soviet Union, see 'Waiting for Osama's Blessing', Tempo, no. 03/11, 25 September 2001.
Thalib has stated that bin Laden struck him as a jetsetter when he met him in Pakistan in 1987 during the Mujahadeen struggle against the Soviet Union, and has taken a vastly different interpretation of Islam to the Laskar Jihad, see R. C. Paddock, 'Indonesian Extremist Backs Terror Southeast Asia', Los Angeles Times, 23 September 2001.
Harold Crouch of the International Crisis Group is quoted as questioning reports of mujahadeen in the Malukus due to the lack of casualties with Middle Eastern appearance, see S. Mydans, 'Militant Islam Unsettles Indonesia And Its Region', New York Times, 21 September 2001.
'Waiting for Osama's Blessing', Tempo, no. 03/11, 25 September-1 October 2001.
'No global terrorist link in RI', Jakarta Post, 22 September 2001.
Dr Greg Fealy of the Australian National University urges caution when assessing these claims of guilt, as the Indonesian Police have been known to frame suspects in the past and little motive has yet been produced for the attacks, personal communication.
S. Mydans, 'Militant Islam Unsettles Indonesia And Its Region', op. cit.

Comments to: web.library@aph.gov.auLast reviewed 27 September 2001 by the Parliamentary Library Web Manager© Commonwealth of AustraliaParliament of Australia Web Site Privacy Statement Images courtesy of AUSPIC