Kamis, 18 Juni 2009

Global Transformation Reader (Book Report)

Judul : Global Transformation Reader
Pengarang/editor : David Held dan Anthony McGrew (ed)
Penerbit : Polity Press, Cambridge
Tahun Terbit : 2000
Halaman : 624 hal
Ukuran : 244 x 172 mm, 6.75 x 9.75 in

Dewasa ini, istilah globalisasi mulai muncul sebagai sebuah fenomena sosial dan kultural real dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Berbagai macam pandangan muncul sebagai bagian dari konseptualisasi atas istilah globalisasi. Apakah globalisasi itu dan bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan manusia? Berikut adalah pertanyaan dasar yang hendak dijawab oleh manusia zaman ini ketika mereka mulai menyadari munculnya realitas ‘globalisasi’. Dalam rangka menjawab serta menjernihkan persoalan yang muncul seputar istilah globalisasi tersebut, Buku Global Transformation Reader merupakan sebuah buku penting yang mencoba menjawab dan menjernihkan pokok persoalan tentang ‘globalisasi’. Buku ini merupakan sebuah kumpulan karangan dari para ahli ilmu sosial, politik, kebudayaan, sejarah , ekonomi, hubungan internasional, dan para akademisi tentang ‘globalisasi’. Tulisan-tulisan dalam Global Transformation Reader ini merupakan pemikiran-pemikiran yang mencoba memahami apa itu globalisasi berikut penelusuran sejarah asal mulanya globalisasi. Tentu pemikiran-pemikiran itu akan sangat beranekaragam, mengingat luasnya konsep makna atas globalisasi itu sendiri. Namun secara jelas dan runtut, Global Transformation Reader memetakan pemikiran-pemikiran tersebut sebagai sebuah debat tentang ‘globalisasi’. Disebutkan, bahwa dalam memahami apa itu globalisasi, terdapat dua arus pemikiran yang cukup besar berkaitan dengan respon mereka dalam memahami apa itu globalisasi.

Corporate Power and Global Production Networks

Dalam tulisannya tentang Corporate Power and Global Production Networks, David Held hendak mengungkapkan bagaimana proses globalisasi ini secara marak mulai terjadi dengan munculnya FDI (Foreign Direct Investment) pada periode pasca perang Dunia Pertama. FDI yang awalnya terjadi berdasarkan pada negara-negara yang memiliki hubungan secara politik dan dibatasi oleh kedekatan geografis pun mulai meningkat menjadi FDI lintas batas. Negara-negara dengan perekonomian maju dan modal kuat menjadi sumber aliran FDI yang paling menonjol. Pada periode awal mulai mengglobalnya FDI, negara yang paling besar prosentasinya dalam FDI dunia adalah Inggris dan Amerika (David Held: 240). Pada periode sebelum tahun 1945, FDI dan produksi internasional masih begitu dibatasi dan aktivitas dari MNC-MNC masih terbatas pada negara-negara tertentu, meski pada negara-negara produsen besar sumber daya alam seperti: minyak, tambang, dan bahan pertanian penting seperti karet, mulai dirambah oleh para investor yang mulai mendirikan afiliasi-afiliasi internasional demi produksi internasional (David Held: 241). Pada periode-periode awal pasca perang Dunia I dan II, sumber daya alam seperti besi, minyak, karet, dan bahan tambang lainnya menjadi sasaran yang banyak dicari oleh para investor dalam mengembangkan produksi internasional. Tujuan utama atas produksi itu adalah sebagai usaha pembangunan dan pemupukan modal. Sejak saat itu pulalah MNC mulai muncul dan memiliki kekuasaan sendiri yang mampu menerobos batas-batas politik maupun geografis suatu negara. Sejak saat itu (sekitar tahun 1960-an) juga aliran FDI mulai berkembang pesat dari pada GDP dunia (David Held:242). Dalam arti ini, FDI dan MNC menjadi agen utama dari pasar modal global yang prosentasi jumlah transaksinya melebihi transaksi perdagangan sektor riil antar negara.

Kamis, 04 Juni 2009

Semburan Lumpur Panas Lapindo Brantas Inc: Potret ‘Kekalahan’ Negara Oleh Korporasi Global



Pada tanggal 29 Mei 2006, 2 hari setelah gempa besar mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya, lumpur panas menyembur dari sumur Banjar Panji-1 milik PT. Lapindo Brantas di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Semburan lumpur mencapai 150.000 meter kubik setiap hari. Hingga bulan Mei 2007 semburan lumpur ini belum berhasil dihentikan. Semburan lumpur panas ini tidak dapat dihentikan hinga menyebabkan tertutupnya tak kurang dari 10 pabrik dan 90 hektar sawah serta pemukiman penduduk. Selain itu, luapan lumpur panas yang semakin tak terkendali ini mengganggu arus transportasi kerta api dari dan ke Surabaya serta menyebabkan jalan tol Surabaya-Gempol ditutup.[1] Peristiwa ini sungguh mengejutkan masyarakat Indonesia. PT. Lapindo Brantas yang merupakan kontraktor pertambangan minyak multinasional dan pemilik sumur Banjar Panji-1 dituding melakukan kesalahan dalam melakukan prosedur pengeboran yang menyebabkan terjadinya bencana lingkungan tersebut. Mulai saat itu, tuntutan dari berbagai pihak akan tanggungjawab PT. Lapindo Brantas bermunculan dan keberadaan PT. Lapindo Brantas sebagai perusahaan pertambangan minyak berskala multinasional pun mulai dipertanyakan.
Peristiwa semburan lumpur panas di desa Renokenongo ini telah menyebabkan kerugian yang amat besar bagi warga masyarakat yang kehilangan tempat tinggal. Selain itu, peristiwa ini juga memiliki dampak lingkungan yang amat serius berkaitan dengan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Sementara itu, pihak PT. Lapindo Brantas terkesan lamban dalam menanggapi kasus ini. Bahkan dalam beberapa kesempatan, pihak PT. Lapindo berusaha untuk menghindar dari tanggungjawab sosial yang harus diberikan sehubungan dengan ganti rugi atas peristiwa itu. Kasus ini sempat membuat warga setempat mengajukan protes ke pemerintah sehubungan dengan proses ganti rugi yang seolah-olah dilalaikan oleh pihak PT. Lapindo.