Membaca tulisan Khudori tentang Sejarah Neoliberalisme Pertanian di dalam bukunya yang berjudul Neoliberalisme Menumpas Petani sungguh menantang saya. Tulisan tersebut membuat saya bertanya-tanya, mengapa orang Indonesia sekarang ini enggan menjadi petani. Persoalan tentang penderitaan petani yang terjadi di Indonesia ini ternyata memiliki akar sejarah yang panjang dan kompleks. Disebutkan oleh Khudori bahwa sejarah pertanian di dunia ini tidak bisa terlepas dari sistem ekonomi yang mulai melibatkan unsur negara (nation state), terlebih dengan kewenangannya dalam mengatur sistem perdagangan. Dalam sistem perdagangan itu, muncul suatu ideologi yang disebut sebagai ideologi liberalisme. Meski pada awalnya, liberalisme merupakan ekspresi ideologis perjuangan kaum borjuis dalam menghadapi kubu konservatif, namun ideologi ini telah melahirkan sebuah sistem perdagangan yang kian mengglobal yang disebut sebagai sistem perdagangan bebas (Khudori: 16). Sistem perdagangan bebas ini muncul dari sistem ekonomi liberalisme yang dipicu oleh karya Adam Smith, The Wealth of Nations pada tahun 1776. Dalam sistem ekonomi liberalisme ini, intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi dianggap justru sebagai hambatan utama dalam pengembangan kesejahtaraan masyarakat. Smith menganjurkan agar pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja dengan sendirinya dengan melakukan deregulasi, menghilangkan segala bentuk hambatan (tarif dan non-tarif) dan restriksi. Sistem inilah yang memunculkan ideologi kapitalisme dimana modal memegang peranan penting dan produksi besar-besaran nan kompetitif menjadi orientasi dasar dari pertumbuhan ekonomi. Pasar menjadi penentu satu-satunya kebijakan pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh the invisible hand. Oleh karena itulah muncul prinsip free trade, yang akhirnya menguasai juga dalam dunia pertanian. Usaha untuk menangkal prinsip free trade ini adalah kebijakan negara yang disebut sebagai proteksionisme. Kebijakan ini diberlakukan demi melindungi produk-produk domestik (termasuk juga produk pertanian) dari ancaman produk luar negeri. Meski demikian, akhirnya sistem ekonomi liberalisme ini runtuh pada sekitar tahun 1930-an karena depresi besar yang melanda Eropa. Keruntuhan ini memunculkan tokoh ekonomi baru yakni John Maynard Keynes, yang memunculkan gagasan perlunya intervensi pemerintah dalam sistem ekonomi. (Khudori: 19) Sistem free trade ini berkembang sedemikian pesat dengan munculnya kolonialisme dan imperialisme. Hal ini dipicu dengan lahirnya revolusi industri di Inggris yang mulai merambah negara-negara Dunia Ketiga. Revolusi Industri Inggris telah memicu agresivitas kapitalisme dalam menguasai bahan baku murah dari negara-negara dunia ketiga serta lahan pemasaran atas produk-produk industrinya. Hal ini didukung juga lahirnya korporasi-korporasi awal dari Eropa yang menguasai perdagangan dan teknologi industri dunia.
Dalam konteks Indonesia, lahirnya kolonialisme dan imperialisme di bumi Nusantara ini pertama-tama dipicu oleh sistem ekonomi liberalisme ini yang hendak menguasai perdagangan bahan pertanian Indonesia. Diawali oleh VOC yang hendak menguasai perdagangan pertanian di Indonesia hingga penjajahan politik dari Belanda atas Indonesia, motif dasar dari kolonialisme dan imperialisme ini pertama-tama adalah motif ekonomi (Khudori:23). Secara khusus, saat itu produk pertanian menjadi produk pokok dalam perdagangan bebas yang mulai mengglobal. Untuk mendukung hal ini, dibuat Agrarische Wet 1870 sebagai landasan hukum bagi investasi di bidang perkebunan yang membolehkan orang-orang asing untuk menyewa tanah. Dengan adanya Undang-Undang tersebut, petani-petani yang sebenarnya memiliki hak sepenuhnya atas tanah dan produksi pertanian tak lagi memiliki tanah dan menjalankan produksi pertaniannya secara adil. Korporasi-korporasi dan penanam modal yang menguasai hak penggunaan tanah itu telah menempatkan rakyat dalam ketertindasan. Hal ini diperparah dengan pemberlakuan cultuurstelsel (Tanam Paksa) oleh Johanes van den Bosch pada tahun 1830 (Khudori: 25). Sejak saat itulah penjajahan dan penindasan rakyat Indonesia oleh kolonialisme dan Imperialisme Belanda ini menjadikan rakyat sebagai orang asing di tanahnya sendiri. Pada saat itu juga, kolonialisme dan Imperialisme Belanda telah mengeruk keuntungan yang sangat besar dari hasil-hasil pertanian di Indonesia. Kecenderungan penanaman investasi pertanian dan perkebunan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara Asia dan Timur-Jauh pun mulai dirambah oleh korporasi-korporasi Eropa.
Warisan sejarah struktural pertanian era kolonialisme dan imperialisme tersebut masih juga tersisa hingga saat ini. Memang pada era Orde Lama, reformasi dan restrukturisasi pertanian mulai dimunculkan kembali. Usaha-usaha seperti KOGM (Komando Operasi Gerakan Makmur), PTD (Pamong Tani Desa), BMPT (Badan Perusahaan Bahan Makanan dan Pembuka Tanah) dimunculkan. Usaha ini berpuncak dengan lahirnya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) pada tahun 1960. Tujuan dari UUPA ini pertama-tama merupakan sebuah landreform yang meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Namun sekali lagi, landreform ini tidak dapat berjalan dengan mulus karena muncul pelbagai ‘aksi sepihak’ dari PKI dan lahirnya Orde Baru. Pada periode Orde Baru, kebijakan pemerintah menjadi lebih pragmatis dan UUPA di peti es-kan. Tujuan pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi yang mementingkan Peningkatan Produksi pangan demi pertumbuhan modal tanpa memperhatikan situasi rakyat dalam hal kepemilikan tanah. Hal ini diwujudkan oleh pemerintah dalam programnya yakni Revolusi Hijau (Peningkatan Produksi Pangan). Revolusi Hijau yang terjadi ternyata tanpa reformasi agraria. Revolusi Hijau ini memang mampu membuat Indonesia ber-swasembada beras, namun hal ini hanya mampu bertahan 5 tahun (1984-1989). Sejak tahun 1990-an, import beras semakin naik tajam. (Khudori: 33-39)
Selain itu, Revolusi Hijau yang dicanangkan oleh Orde Baru justru mengakibatkan para petani semakin menderita. Akibat-akibat Revolusi Hijau antara lain: melepaskan sebagian besar petani miskin lahan ke perangkap yang lebih dahsyat: ancaman globalisasi yang dihela oleh pasar bebas karena adanya monopoli bibit dan pupuk oleh MNC, ketidakseimbangan ekologis, ancaman terhadap keanekaragaman hayati, pemiskinan dan penindasan terhadap petani kecil. Inilah salah satu kegagalan pemerintah Orde Baru dalam mengembangkan sektor pertanian di Indonesia. Dengan mencanangkan Revolusi Hijau, pemerintah Orde Baru tidak ubahnya menjalankan sistem Tanam Paksa Baru dengan majikan utamanya adalah MNC-MNC sektor pertanian. Hal ini jelas terlihat bahwa para petani kecil yang tidak memiliki tanah, ataupun yang hanya memiliki tanah dari 0,0-0,5 ha berada dalam perangkap liberalisme perdagangan bebas global para MNC yang menguasai sebagian besar investasi penggunaan tanah, penyediaan bibit yang dikomersilkan, ketergantungan lahan pada pupuk-pupuk kimiawi buatan MNC, dan juga penyediaan irigasi yang tidak murah. Hal ini diperparah lagi dengan adanya kerjasama pemerintah Orde Baru dengan IMF. Disebutkan oleh Khudori, bahwa IMF membuat kewenangan pemerintah menjadi mandul karena pelbagai kebijakan ekonomi nasional, terutama kebijakan di sektor pertanian, berada di bawah dikte-dikte IMF. Artinya, para petani tetap menjadi korban dari suatu korporasi global sektor pertanian yang hanya menguntungkan pihak MNC ataupun pemilik saham tingkat global demi hasrat produksi besar-besaran tanpa keadilan. Inilah kebangkitan neoliberalisme dalam dunia pertanian. (Khudori: 37-44)
Dalam konteks global, neoliberalisme pertanian ditandai dengan lahirnya pertanian transgenik oleh MNC-MNC sebagai Revolusi Hijau kedua yang lebih dahsyat. Dengan kekuatannya yang melampaui kebijakan suatu negara tertentu, MNC-MNC tersebut telah menguasai benih yang seharusnya menjadi hak petani. Pertanian transgenik dilakukan demi semakin memperbesar pundi-pundi modal kapital saja dan peningkatan pangan secara pragmatis, tanpa memperhatikan sisi keamanan produk pertanian itu sendiri. Dan akhirnya, negara-negara Dunia Ketiga tetaplah yang dijadikan lahan eksploitasi, penindasan dan penjajahan. Para petani itu dipaksa untuk masuk dalam mekanisme pasar bebas global pertanian yang telah dimonopoli sepenuhnya oleh MNC dan didukung oleh kebijakan negaranya demi peningkatan pangan. Akhirnya, MNC-MNC ini juga akan mematikan petani lokal sebab sistem neoliberalisme pertanian telah menyerahkan harga suatu produk pertanian pada mekanisme pasar sementara produksi besar-besaran yang dikuasai oleh MNC telah juga menguasai pasar.
Adanya fakta bahwa neoliberalisme pertanian kini tengah mencengkeram para petani mulai mengusik benak saya. Tidak dapat dipungkiri bahwa neoliberalisme ini muncul sebagai kebangkitan sistem ekonomi liberalisme dari Adam Smith dimana kapitalisme global dengan ritual pasar bebas global-nya mulai mendapatkan wajah baru. Wajah baru itu tampak dalam kiprah MNC-MNC yang pertama-tama mengabdi para pemilik saham demi peningkatan produksi, yang artinya profit-oriented. Beberapa pertanyaan yang cukup mengganggu, muncul dalam benak saya: Bagaimana sistem liberalisme yang secara konseptual sangat mendukung terciptanya kesejahteraan sosial masyarakat manusia justru jatuh dalam suatu mekanisme penghisapan kehidupan begitu mengerikan? Bagaimana mungkin liberalisme dan mekanisasi pertanian yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan manusia justru tengah menggali kubur bagi peradaban manusia? Lantas bagaimanakah menciptakan sistem ekonomi yang mulai menghargai kembali sektor primer sebagai sebuah sektor signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak? Bagaimana menempatkan posisi petani dan rakyat kecil pada umumnya di tengah ancaman globalisasi pertanian dan teknologi? Dan tak lupa pula adalah bagaimana mengatasi ledakan investasi dalam sektor pertanian yang hanya menguntungkan pihak-pihak MNC dengan kepentingan-kepentingan globalnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar