Selasa, 27 Januari 2009

Reformasi Mentalitas Bangsa


Memikirkan dan mencoba membenahi terus menerus situasi kebangsaan kita saat ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak dimensi yang mesti diperhatikan dan dibenahi. Meski begitu, pertama-tama kita pantas bersyukur bahwa Indonesia adalah negara dengan karakter unik yang kaya akan keanekaragaman budaya, tradisi, agama, bahkan juga mentalitas. Bangsa Indonesia terkenal dengan falsafah Pancasila yang merupakan representasi cita-cita setiap manusia yang mengaku diri orang Indonesia. Pancasila menjadi arah dasar (visi misi) bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Memang, dengan melahirkan Pancasila, Indonesia berusaha untuk melepaskan diri dari pengaruh ‘pertempuran’ ideologi yang terjadi antara negara-negara Barat dan Timur. Namun apakah Pancasila sungguh telah mampu merangkum cita-cita setiap manusia yang menamakan diri sebagai bangsa Indonesia ini? Apakah Pancasila juga merupakan visi misi yang membebaskan posisi Indonesia untuk tidak terlibat dalam pertentangan ‘ideologi’ negara-negara di dunia?

Mentalitas Orang Indonesia dibentuk oleh Luka Batin Sejarah
Mungkin memang benar bahwa Indonesia era Kemerdekaan dengan Indonesia sekarang ini sungguh sudah sangat berbeda. Namun apakah cita-cita yang menjadi arah dasar lahirnya negara ini juga mesti harus musnah begitu saja seiring dengan munculnya hal-hal baru yang tak terduga? Apakah bangsa Indonesia saat ini perlu merumuskan kembali sikap-sikap kebangsaannya sebagai wujud bahwa Indonesia itu memang benar-benar ada. Tentu hal ini tidak perlu dilakukan. Namun entah kenapa hingga saat ini, persatuan sebagai sebuah bangsa Indonesia masih amat dangkal dan terkesan gagal karena munculnya banyak keprihatinan-keprihatinan yang bersumber dari keanekaragaman dan keterbedaan. Tentu meletakkan kesalahan kepada keanekaragaman dan keterbedaan bukanlah sebuah jawaban dan keputusan yang cukup bijaksana. Untuk mengenali secara lebih jeli tentang realitas keprihatinan-keprihatinan yang ada dalam negeri ini, kita perlu melihat lebih dalam tentang sejarah kita sebagai satu bangsa. Realitas kemiskinan, fundamentalisme agama/golongan, konflik etnis, korupsi, kolusi, nepotisme, politik kotor (dengan uang), individualisme, materialisme, kekerasan militeristik, dan diskriminasi terhadap ras/daerah tertinggal telah menjadi indikasi bahwa sikap kebangsaan kita masih harus terus diperjuangkan. Hal utama yang menyebabkan masih munculnya realitas-realitas berikut dalam skala yang cukup besar dan berkesinambungan adalah persoalan mentalitas orang Indonesia. Mentalitas macam apakah yang menjadi salah satu indikasi munculnya keprihatinan-keprihatinan tersebut?
Salah satu mentalitas orang Indonesia yang masih begitu kuat tertanam dalam diri sebagian besar orang Indonesia adalah mentalitas priyayi. Hampir seluruh etnis di Indonesia ini memandang bahwa kekayaan material dan sosial menjadi orientasi dasar dalam pencapaian makna hidup. Bagaimana kekayaan material dan sosial ini diperjuangkan? Tentu ada berbagai macam cara. Salah satu karakter mentalitas orang Indonesia berikutnya adalah berjuang dengan segala cara untuk memperoleh kekayaan material dan sosial ini. Mentalitas ini terbentuk sejak zaman kolonial menancapkan cengkeram cakarnya di bumi Nusantara ini. Mentalitas priyayi yang diharapkan dan didambakan oleh orang Indonesia pada umumnya merupakan ekspresi luka-luka batin atas rasa inferior yang pernah dialami saat masa pendudukan imperialisme. Mentalitas itu begitu dalam tertanam sehingga generasi-generasi berikutnya pun masih memiliki luka-luka batin ini. Entah sampai pada generasi keberapakah orang Indonesia mampu melepaskan efek dari luka-luka batin ini. Sebagai contoh misalnya: Pada sebagian besar orang Jawa masih diyakini bahwa menjadi guru atau pejabat pemerintahan memiliki status sosial yang lebih tinggi di masyarakat meski dalam hal kinerja (pelayanan kepada publik) sungguh tidak dapat dibandingkan dengan para petani yang telah bekerja keras untuk menyediakan bahan pangan, ada keyakinan bahwa menjadi tentara memiliki status sosial yang tinggi meski jika dilihat dari keterlibatannya untuk membangun negara dan bangsa, tentara kita masih banyak yang di bawah standar professional. Tentu masih ada banyak contoh-contoh yang lain tentang hal ini, termasuk juga: keinginan untuk menjadi lurah atau caleg harus diwujudkan dengan mengeluarkan uang banyak demi membayar suara para warganya agar memilih dirinya. Jika, mentalitas bangsa ini masih demikian, tentu realitas-realitas keprihatinan itu hanya akan berkembang biak dengan modifikasi yang baru.
Salah satu mentalitas orang Indonesia yang lain, yang kiranya patut diperhatikan untuk semakin mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah mentalitas individualistis dan primordial. Meski mengetahui bahwa Indonesia terdiri dari beranekaragam budaya, agama, tradisi, ras, dsb; orang Indonesia jarang sekali memanfaatkan kekayaan itu demi suatu kekreativitasan untuk membentuk sebuah komunitas yang kuat dan saling melengkapi, tetapi justru saling menjegal dan menjadikan perbedaan ini sebagai bentuk legitimasi untuk melenyapkan suatu golongan yang minoritas dan tidak sesuai dengan patron dari penguasa nan otoriter dan individualistis. Mungkin mentalitas ini juga dipengaruhi oleh sejarah politik kolonial era pra-Kemerdekaan yang sering kali menerapkan politik mengadu domba warga demi melanggengkan status quo penguasa. Yang terjadi adalah survival for the fittest. Hal ini masih amat banyak ditemukan dalam hidup sehari-hari di masyarakat kita. Dengan demikian, Indonesia bukan lagi sebuah negara yang melindungi setiap warganya, tetapi lebih seperti rimba raya dengan hukumnya yang tak menguntungkan bagi warga yang jelas-jelas lemah dan tersingkir. Hal yang sama juga terjadi dalam proses pemilu misalnya: sejak era Reformasi 1998 bergulir, muncul partai-partai baru yang memiliki berbagai macam visi misi dengan janji-janji indah tentang pembangunan bangsa yang lebih adil, sejahtera dan makmur. Namun kenyataan sebenarnya adalah sebuah panggung pertikaian elit demi memperoleh kekuasaan. Entah kenapa, sebagai satu bangsa yang berdaulat, selama ini perbedaan dan keanekaragaman belumlah sebagai suatu hal yang saling melengkapi dan memperkaya tetapi justru sebagai alasan untuk mengalahkan dan meminggirkan kelompok yang ‘berbeda dan kecil’ (minoritas). Entah kenapa tidak terjadi sebuah koalisi kebangsaan yang sungguh-sungguh berkomitmen untuk mengusahakan persatuan sesungguhnya.

Tim Nasional Sepakbola Indonesia sebagai Gambaran Mentalitas orang Indonesia?
Mungkin anggapan bahwa Tim Nasional Sepakbola kita merupakan sebuah gambaran mentalitas orang Indonesia pada umumnya adalah anggapan yang sarkastis dan sinis serta tidak berdasar. Mungkin juga anggapan ini adalah anggapan yang ngawur. Tetapi apa salahnya jika kita merenungkan Indonesia dari realitas Tim Nasional Sepakbola kita yang jarang (bahkan hampir tidak pernah) mendapat gelar dalam kejuaraan Internasional. Tim Nasional sepakbola bukan hanya terdiri dari para pemain saja, tetapi juga melibatkan struktur kepengurusan tim (managemen), model pembinaan, pengkaderan, strategi permainan, sistem tim, dan juga sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Sebagai sebuah tim, sudah selayaknya perjuangan untuk memperoleh sebuah titel kejuaraan tertentu harus didukung oleh keserasian dan keselarasan perjuangan anggota-anggota di dalamnya; mulai dari pemain hingga hal-hal kecil lainnya seperti perawatan fisik pemain, sarana dan prasarana serta hal-hal lainnya. Jika komponen-komponen itu telah dipersiapkan dengan baik, maka perjuangan akan terasa lebih ringan dan membebaskan. Apabila akhirnya perjuangan itu tidak membuahkan hasil yang baik, maka dengan rendah hati, tim akan mengakui bahwa tim musuh ternyata lebih kuat dan lebih terkoordinasi, sehingga tidak justru menyalahkan anggota tim sendiri. Itulah yang terjadi di negara kita Indonesia. Seringkali kita meletakkan kesalahan kepada sebuah komponen (anggota/warga) jika akhirnya kegagalan yang ditemui. Belumlah ada kesatuan yang cukup padu dalam memperjuangkan sesuatu. Jika demikian, tidak aneh jika Tim Nasional kita seringkali kalah dalam kejuaraan-kejuaraan Internasional justru ketika kita sudah sampai ke babak final. Salah satu indikasi yang terlihat adalah tidak padunya antar komponen dalam melakukan perjuangan meraih kemenangan. Hal yang sama terjadi di negeri kita ini, salah satu contohnya: ketika para usahawan, para petani dan para karyawan swasta bekerja giat demi memperkembangkan perekonomian maupun pendidikan bangsa, para pegawai negeri sipil justru tidak menunjukkan sikap professional dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik dengan praktek-praktek korupsi, malas-malasan, tidak kreatif (menunggu perintah atasan), dsb. Jika demikian halnya, kemajuan Indonesia tetap sebagai sebuah utopia.

Lalu Kita Bisa Buat Apa?
Mungkin terlalu muluk-muluk jika kita ngomong tentang reformasi mentalitas bangsa. Apaan tu? Salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan mengusahakan agar kritis dengan diri sendiri (selalu melakukan otokritik) secara obyektif. Sebagai bagian dari bangsa ini, kita bisa menyumbang sikap kritis dan otokritik kita demi penyembuhan luka-luka batin sejarah yang telah membentuk mentalitas yang kurang mendukung bagi pembangunan bangsa. Hal ini bisa dimulai di tingkat keluarga dan basis hidup masyarakat skala kecil. Semangat komuniter dalam keberanekaragaman mulai dipupuk dalam mentalitas generasi selanjutnya. Rasa aman perlu diberikan untuk menjamin penyembuhan luka-luka batin ini dengan mengedepankan semangat berbagi tanpa melihat latar belakang, justru yang paling miskin, bodoh, dan tersingkir perlu mendapat prioritas pelayanan. Mungkin juga, slogan-slogan nasionalis, agamis, reformis, religius, sekularis dan sikap-sikap primordial lainnya perlu dikritisi dan diluruskan. Dalam arti ini, orang sungguh-sungguh menyadari secara lebih dalam apa arti identitas sebagai bangsa Indonesia terlebih dahulu sebelum ia mengungkapkan identitas primordialnya. Tujuannya yakni untuk menyatukan visi dan misi bangsa sebagai satu warga yang memiliki cita-cita sama yakni demi semakin sejahtera dan adilnya masyarakat Indonesia. Orang-orang Indonesia memiliki kemampuan akan hal itu. Salah satu mentalitas yang sungguh sangat membantu dalam pencapaian usaha ini adalah semangat belajar yang tinggi serta terbuka akan segala hal yang ada. Dan orang Indonesia memiliki hal itu.

Minggu, 25 Januari 2009

Mengapa Jumlah Warga Miskin di Indonesia masih Tinggi?



Mengapa Jumlah Warga Miskin di Indonesia masih Tinggi?


pertanyaan berikut mungkin mengusik kita semua sebagai warga negara dan bangsa Indonesia. Ada masih begitu banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Apakah kemiskinan merupakan sebuah penyakit kronis yang taktersembuhkan bagi masyarakat Indonesia? Yang jelas, menjadi warga miskin di Indonesia itu amat susah. Ibaratnya mereka hidup di tanah asing, meski mereka hidup di negeri sendiri. Berbagai macam ancaman penggusuran, ketidakadanya sarana dan prasarana hidup yang memadai, terbatasnya akses yang sama dalam hak dan kewajiban sebagai warga negera telah membuat warga miskin selalu meneteskan air mata. Kira-kira apakah yang menyebabkan kesenjangan sosial di Indonesia ini begitu tinggi. Mungkin ada beberapa hal yang perlu dipikirkan mengenai:


  1. Mentalitas individualistis dan materialistis sebagian besar warga negara Indonesia masih kental.
  2. Kurangnya semangat kerja keras yang berguna bagi masyarakat semuanya (kalau demi diri sendiri sih oke)
  3. Pemerintah tidak mengusahakan adanya pemerataan tingkat kesejahteraan warganya.
  4. Budaya Korupsi, kolusi dan nepotisme masih kental.
  5. Tidak adanya kesadaran untuk membangun kesetaraan di antara daerah-daerah yang masih terbelakang
  6. masih banyak lagi......(silakan diisi sendiri)

Indonesia sebagai Negara Federasi?

Selang empat hari setelah Perayaan 100 tahun Kebangkitan Nasional, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang naiknya harga BBM. Slogan Indonesia Bisa yang didengungkan secara serentak dalam perayaan seremonial nan agung di Gelora Bung Karno seolah-olah menguap begitu saja karena gelombang demonstrasi dari kalangan mahasiswa dan rakyat yang menentang pemerintah atas kebijakan tersebut. Sebuah ironikah? Semoga Indonesia benar-benar BISA, dan bukannya ABIS.

Lemahnya Asketisme Publik
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM memang merupakan sebuah kebijakan yang amat logis mengingat harga minyak dunia saat ini masih diatas harga yang ditentukan oleh pemerintah setelah dinaikkan. Justru gelombang demonstrasi yang diadakan oleh para mahasiswa dan para politisi yang mengatasnamakan pejuang rakyat tampak sebagai sebuah keputusan yang amat tergesa-gesa. Memang dampak kenaikan harga BBM ini akan mempengaruhi kenaikan harga-harga barang-barang lainnya, terutama harga bahan pokok. Namun menolak kenaikan harga BBM juga bukanlah sebuah solusi yang bijaksana bagi kelangsungan hidup masyarakat selanjutnya. Letak persoalan yang terjadi adalah pada sisi keadilan sosial yang masih amat lemah di negeri ini. Hal inilah seharusnya yang diperjuangkan oleh para mahasiswa dan para politisi yang mengatasnamakan dirinya pejuang bagi rakyat.
Kenaikan harga BBM dirasakan seperti kehilangan sebuah selendang bagi seorang anak kecil dari sang ibu, sebagaimana diungkapkan oleh Saya Sasaki Shiraisi dalam bukunya Pahlawan-pahlawan Belia (Gramedia: 2001). Kehilangan selendang yang selalu memberi kehangatan dan kenyamanan selalu terasa menyesakkan. Namun begitulah gaya politik Orde Baru. Selama selendang itu diberikan dalam bentuk kemudahan-kemudahan ekonomis yang bersumber dari utang luar negeri, rakyat menganggap pemerintah sebagai seorang bapak yang baik, yang melindungi dan memperhatikan rakyatnya. Dengan begitu, rakyat merasa nyaman dengan hidupnya tanpa mengetahui bahwa dibalik itu terdapat pengebirian masa depan yang membuat kemandirian dan asketisme publik menjadi mandul. Selain itu, utang luar negeri yang telah menumpuk dibebankan pada generasi yang akan datang tanpa mengindahkan suatu tanggungjawab terhadap masa depan. Dan ketika tiba waktunya untuk mempertanggungjawabkan situasi kenyamanan hasil dari utang tersebut terkuak, rakyat yang seperti anak kecil ini menangis keras dan menuntut kembali selendang yang selama ini selalu melindungi dan menghangatkannya. Kepercayaan terhadap sang bapak pun luntur hingga lahirlah pemberontakan-pemberontakan kecil yang mulai menggerogoti sendi-sendi kebangsaan. Pemerintah dan rakyat seakan berada dalam posisi rival yang tak lagi menampakkan sebuah demokrasi yang adil. Peran pemerintah sebagai pelayan publik pun hilang, tergantikan oleh image penguasa yang tak lagi peduli dengan nasib rakyatnya. Hal ini didukung dengan lemahnya pemerintah dalam mengusahakan pemerataan kesejahteraan sosial. Asketisme yang terjadi hanya dalam tataran rakyat kecil. Dalam hal ini, rakyat kecillah yang selalu mengusung sikap-sikap asketis sebab memang secara struktural mereka berada pada sisi korban.

Ironi lemahnya pemerataan kesejahteraan dan asketisme publik ini tampak dalam realitas bahwa bangsa Indonesia ini menjadi area ekspansi penjajahan politik ekonomi dari negara-negara maju dengan multinational corporation-nya. Politik ekonomi dari negara-negara maju seperti Jepang, Korea, Amerika dan negara-negara Eropa itu menjadikan rakyat Indonesia sebagai rakyat konsumeris yang hanya mampu mengkonsumsi. Sungguh ironis ketika melihat kenaikan harga BBM diimbangi dengan banjirnya iklan sepeda motor dan mobil keluaran Jepang, Amerika, India, Cina dan negara-negara maju lainnya. Sungguh ironi ketika memperjuangkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia diimbangi dengan munculnya katedral-katedral perbelanjaan yang pesat lagi megah di penjuru-penjuru kota di Indonesia, bahkan termasuk di kota kecil. Sungguh ironi ketika ajakan untuk menjadi bangsa yang mandiri diimbangi dengan munculnya perusahaan-perusahaan asing yang mengeksploitasi kekayaan alam seperti tambang emas di Papua dan perusahaan air minum di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa kebijakan ini tampak sebagai sebuah gejala pembangunan yang berat sebelah, tidak memperhatikan rakyat kebanyakan yang secara struktural tergolong miskin dan belum mandiri. Maka tidak heran ketika muncul pemberontakan-pemberontakan kecil seperti pembajakan, tingginya tingkat kriminalitas, munculnya kelompok-kelompok oposisi pemerintah, dan separatisme. Dari pemberontakan-pemberontakan itu, tampaklah bahwa pembangunan segi spiritual, moral dan mental dari bangsa ini masih teramat lemah. Kiranya krisis ekologis yang terjadi pun menjadi dampak dari lemahnya pembangunan dalam sisi ini. Lemahnya asketisme publik (bangsa) menjadi salah satu indikasinya.

Persatuan yang dipaksakan
Lahirnya nasionalisme Indonesia yang kemudian diperingati sebagai lahirnya kebangkitan Nasional oleh organisasi Budi Oetomo pada tahun 1908 pun berawal dari sebuah ide tentang kebangkitan nasionalisme Jawa. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam Budi Oetomo pun awalnya merupakan sebuah kelompok intelektual Jawa berpendidikan Belanda yang menyerukan diadakannya kembali kebudayaan Jawa pada akhir tahun 1910-an (Saya Shiraisi: 124). Dengan demikian, apakah dapat disebut sebagai sebuah kebangkitan Nasional jika tujuan awal dan nafas perjuangan itu hanya dimiliki oleh golongan intelektual dengan ciri khas perjuangan nasionalisme Jawa? Lalu apakah yang disebut sebagai Nasionalisme Indonesia?

Beruntunglah bangsa Indonesia memiliki Soekarno-Hatta yang dengan kepemimpinan kharismatis serta kelihaian retorikanya mampu menciptakan Pancasila sebagai ideologi nasionalisme yang mengedepankan persatuan dari sebuah negeri multikultur ini. Embrio nasionalisme yang mulai muncul era Budi Oetomo dan menampakkan diri dalam Sumpah Pemuda ini lahir dengan wujud Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika-nya sebagai kalimat sakti yang takkan pernah bisa digulingkan, bahkan oleh kudeta tahun 1965. Dalam hal ini, rakyat yang beranekaragam itu dimasukkan ke dalam suatu kandang besar persatuan yang mewajibkan mereka semua menyerahkan diri untuk menerima ideologi sebagai sebuah bangsa. Akhirnya rakyatlah yang menjadi korban, dan selalu menjadi korban sebagaimana pembantaian massal yang terjadi pada tahun 1965. Pemerintahan yang terjadi bukanlah pemerintahan dari rakyat untuk rakyat tetapi pemerintahan dari golongan intelektual yang mengebiri dan mengorbankan rakyat dengan selendang persatuan dan kesatuan. Hal yang sama terjadi pada era Orde Baru dan Orde reformasi dimana pemerintah adalah kaum militer dan perkawinan antara intelektual bernuansa agamis-pengusaha. Sekali lagi, rakyat diandaikan menerima segala macam jargon dan birokrasi elitis yang dibentuk oleh kelompok-kelompok tersebut. Selendang demi selendang diberikan bagi rakyat agar melihat dan terus menganggap pemerintah sebagai seorang bapak yang baik, yang selalu memperhatikan kebutuhan rakyatnya, tanpa sungguh-sungguh ‘membangun’ rakyat.

Sebuah era Baru
Sebuah era baru muncul ketika rakyat mulai menyadari dirinya sebagai bagian dari korban pengebirian lewat selendang-selendang ini. Ketika sedikit demi sedikit selendang mulai dilepaskan oleh era pemerintahan pasca Orde Baru, rakyat mulai menyadari selama ini proses demokrasi Indonesia sebenarnya belum sepenuhnya menemukan realitas idealnya. Hilangnya sosok seorang bapak pemerintahan yang baik sekaligus keras di masa Orde Baru telah membuat rakyat mulai berpikir dari dirinya sendiri, seperti halnya seorang anak yang mulai beranjak dewasa. Meski demikian, bom waktu rapuhnya pembangunan sisi spiritual, mental dan moral yang ditinggalkan oleh era Orde Lama dan Orde Baru mulai meledak saat ini. Demokrasi yang telah dibangun diatas dasar kharisma ideologi Pancasila era Orde Lama dan kharisma bapak yang baik lagi keras era Orde Baru seolah luruh. Bangsa Indonesia seolah harus belajar dari awal lagi tentang demokrasi, mengingat sisa-sisa dominasi Orde Lama dan Orde Baru masih berusaha memegang kendali kekuasaan. Pergerakan mahasiswa yang terjadi pun tidak lebih sekedar sebuah pergerakan yang tidak didasari oleh kuatnya pembangunan spiritual, mental dan moral. Hal ini diindikasikan dengan identiknya politik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia (Orde Baru lahir dengan peristiwa kudeta tahun 1965 dan Orde Reformasi lahir dengan peristiwa kerusuhan 1998). Termasuk juga adanya indikasi bahwa nasionalisme persatuan yang didengungkan sejak Bhinekka Tunggal Ika karena persatuan terkesan dipaksakan dan begitu rapuh (Lepasnya Timor-Timur, GAM, Papua Merdeka, RMS dan ide dicantumkannya Syariat Islam dalam UUD).

Namun beruntunglah bangsa Indonesia memiliki rakyat yang memiliki tradisi keutamaan masyarakat yang luhur. Semangat untuk hidup sosial yang tinggi serta kemauan untuk belajar dari sejarah telah membuat rakyat mulai bangkit dari pengebirian selendang-selendang yang ada selama ini. Usaha-usaha yang muncul dari kalangan akar rumput (masyarakat lokal) dengan segala karakter sosialnya mulai menampakkan diri untuk terlibat dalam memikirkan hidup bersama. Munculnya berbagai macam partai politik saat ini dapat dilihat secara positif sebagai sebuah kebangkitan rakyat dalam hidup berbangsa. Keberanian dalam menyatakan diri berbeda dengan kelompok atau masyarakat lain dengan jiwa besar untuk menghargai perbedaan itu menjadi indikasi yang jelas adanya kebangkitan ini. Kemandirian untuk menentukan nasib sendiri secara bersama-sama mulai mengalahkan rasa ketakutan dan kemandulan idealisme akibat kenyamanan selendang yang telah dirasakan selama ini. Rakyat Indonesia sekarang ini bukanlah rakyat Indonesia Orde Lama maupun Orde Baru

Indonesia sebagai Negara Federasi
Pola kehidupan politik era Orde Lama dan Orde Baru yang menggunakan sistem kekeluargaan dimana pemerintah berperan sebagai bapak yang baik ini masih berlanjut hingga saat ini. Hal ini membuat rakyat dan pemerintah menjadi dua kubu yang saling berbeda secara struktural yakni pemerintah sebagai bapak dan rakyatlah anaknya. Pola ini menempatkan posisi pemerintah pada penentu utama dalam menerapkan kebijakan publik yang direpresentasikan oleh para wakil rakyat. Pada prakteknya, para wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat pun dengan mudahnya melupakan perannya sebagai wakil rakyat dengan sungguh ketika sudah menempati posisi pemerintahan. Di Indonesia, praktek semacam ini wajar karena mereka memperoleh posisi tersebut pun tidak murni berasal dari suara hati nurani rakyat tetapi dengan membayar suara rakyat agar menempatkan mereka dalam posisi tersebut. Rakyat pun dengan mudahnya menerima situasi ini karena mereka menerima selendang-selendang yang dapat membuat hidup mereka sejahtera untuk sementara waktu. Dan apabila akhirnya pihak wakil rakyat tidak sungguh-sungguh memberikan selendang-selendang itu di kemudian hari, maka dengan sendirinya rakyat tidak akan kembali memilihnya. Inilah kelemahan sistem politik yang telah berjalan sedemikian lama di dalam negeri ini. Sebuah politik yang hanya berdasarkan pada hasrat semata. Hal yang sama terjadi pada program BLT (Bantuan Tunai Langsung) dari pemerintahan sekarang ini sebagai kompensasi atas naiknya harga BBM, tak ubahnya sebagai sebuah selendang.

Apabila pola tersebut masih saja menjadi dasar dari sistem demokrasi di negeri ini, maka proses pendewasaan politik hidup berbangsa tidak akan pernah terjadi. Keanekaragaman yang ada akan terus berada dalam situasi ketertindasan ataupun bisa berubah menjadi anarki. Terlebih lagi, cita-cita keadilan sosial akan berhenti sebagai utopia yang berkedok pemuasan hasrat terus menerus. Untuk itu, kiranya dapat dipikirkan kembali tentang perubahan sistem pemerintahan dari pemerintahan sentralistik kesatuan menjadi pemerintahan desentralisasi melalui federasi. Sudah saatnya masyarakat lokal sebagai rakyat yang sebenarnya diberi kesempatan untuk memikirkan masyarakat lokalnya yang unik. Sudah saatnya pola bapak-anak dilepaskan dari sistem politik Indonesia dengan memberi kesempatan kepada masing-masing wilayah berskala lokal untuk mengatur hidupnya secara mandiri. Pemerintah pusat berkepentingan hanya untuk mengatur hubungan dengan luar negeri dan kebijakan-kebijakan yang menyangkut solidaritas serta subsidiaritas dari masing-masing wilayah lokal tersebut. Dengan demikian, proses pendewasaan publik dalam hidup bersama (pembangunan spiritual, mental dan moral yang sesuai dengan local wisdom) akan berjalan secara mandiri, merata dan didasari dengan persatuan yang bukan hasil manipulasi.

Mewujudkan Keadilan Sosial Indonesia
Perubahan sistem pemerintahan dari negara kesatuan menjadi negera federasi ini hanya merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Keadilan sosial selama ini praktis menjadi masalah utama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kebangkitan nasional setidaknya harus ditandai dengan terwujudnya keadilan sosial yang selama ini masih sekedar utopia. Masyarakat miskin dari tahun ke tahun bukannya semakin menurun secara kuantitatif tetapi justru semakin meningkat, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Masih banyaknya pengangguran, masyarakat dengan gizi buruk, tidak terprogramnya sistem pendidikan yang adil dalam praktek Ujian Nasional, krisis ekologi oleh perusahaan-perusahaan berskala nasional yang merugikan rakyat lokal seperti Lapindo, dan tidak terjaminnya hak-hak kaum buruh dapat menjadi salah satu indikasi bahwa keadilan sosial di Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Meski demikian, harapan akan selalu ada. Salah satu usaha lain yang dapat dilakukan adalah pemberdayaan bersama masyarakat dalam membangun sisi spiritual, mental dan moral berdasarkan pada penghargaan terhadap keanekaragaman, baik secara struktural maupun sosial. Dengan begitu, semangat Indonesia BISA akan sungguh-sungguh BerBISA bagi kemajuan pembangunan.

Indonesia: Bangsa yang Akrab dengan Kekerasan?


Melihat situasi bangsa ini dengan berbagai macam persoalan yang tak kunjung henti, kita semua mengharapkan datangnya era baru yang semakin cerah dan damai. Peristiwa Kekerasan yang silih berganti di negeri ini seperti halnya peristiwa FPI di Monas itu menjadi salah satu bagian dari realitas bangsa ini. Sudah sekian lama bangsa ini akrab dengan yang namanya kekerasan. Ingat peristiwa proklamasi kemerdekaan pun diawali dengan paksaan oleh Kaum Muda kepada Soekarno-Hatta di Rengasdengklok, lantas lahirnya Orde Baru tahun 1966 pun harus dibaptis dengan darah ribuan rakyat yang disebut PKI. Kekerasan yang mengawali lahirnya sebuah orde pemerintahan di negeri ini pun berlanjut saat Reformasi 1998 disertai dengan kerusuhan yang mengakibatkan banyak korban (baik yang terbunuh maupun mengalami kekerasan seksual). Lantas muncul kelompok-kelompok garis keras dari suatu golongan tertentu berdasarkan keyakinan suatu agama yang tampak dalam ide perjuangan berwujud terorisme (Bom Bali I, II, dan bom-bom yang lainnya). Masih ada juga tokoh-tokoh/aktivis HAM yang hilang atau terbunuh seperti Munir, Udin, Marsinah, Wiji Thukul, dsb. Kapankah semua kekerasan yang ada di negeri ini berakhir? Apakah untuk mencapai keadaan damai harus disertai dan didahului dengan perang?
semoga dengan adanya kemajuan media sekarang ini, kita semakin menjadi pribadi-pribadi yang mengedepankan 'duduk' bersama, menghargai kedamaian dan dialog, demokrasi dan penghargaan terhadap keragaman. dengan demikian, Matahari kan selalu bersinar cerah untuk kita semua yang hidup dalam sebuah bangsa bernama Indonesia.
Salam anti-kekerasan

Rabu, 21 Januari 2009

Indonesia sebagai Keluarga


Untuk mengenali suatu karakter khas masyarakat tertentu, local wisdom yang telah mengakar dan menjadi suatu sistem budaya menjadi amat penting untuk dikenali. Dengan mengenali local wisdom yang ada dalam suatu masyarakat tertentu, sistem budaya dan juga tata aturan masyarakat tertentu dapat dipetakan. Pemetaan ini merupakan usaha untuk mengenali karakter khas dari suatu masyarakat tertentu berikut penataan sistem yang mengatur cara-cara suatu masyarakat tertentu dalam memandang hidup. Hal yang sama dilakukan oleh Saya Sasaki Shiraishi, seorang peneliti tentang Indonesia berkebangsaan Jepang lulusan Cornell University dalam mencoba memotret realitas karakter manusia Indonesia di era Pemerintahan Orde Baru. Hasil dari penelitian ini dituangkannya dalam buku Pahlawan-pahlawan Belia, yang secara khusus memotret tentang posisi keluarga Indonesia dalam politik, atau politik kekeluargaan di Indonesia era Orde Baru.
Saya Shirashi menulis penelitiannya seperti menulis sebuah jurnal. Mulai dari awal kedatangannya di Indonesia, bahkan ketika ia baru pertama kali menjejakkan kakinya di Bandara Udara Internasional Sukarno-Hatta, ia mulai mencatat peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Peristiwa-peristiwa itu cukup memberi gambaran tentang situasi masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Memang secara khusus ia hendak memfokuskan penelitiannya tentang sistem politik di Indonesia era Orde Baru serta kaitannya dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Melalui pemotretan awal tentang situasi hidup harian orang-orang di Jakarta yang ditemuinya, ia mulai memetakan fokus penelitiannya.
Pada bab pendahuluan, ia menguraikan tentang kaitan antara karakter khas sistem kekeluargaan di Indonesia serta kaitannya dengan sistem pendidikan. Setelah itu, baru menelusuri mengapa sistem kekeluargaan dan yang akhirnya menjadi sistem pendidikan ini mendasari sistem politik Orde Baru. Ia mengungkapkan bahwa sistem politik di Indonesia diatur dengan menggunakan sistem pendidikan dalam keluarga dimana Pemerintah (ia menyebut secara eksplisit Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru) sebagai bapak sementara rakyat sebagai anak. Dengan sistem ini, posisi presiden Soeharto mendapatkan posisi bapak keluarga sebuah bangsa yang bernama Indonesia yang menjadi ikon kebaikan dan perlindungan bagi ‘anak-anaknya’ (para pembantu di pemerintahan dan rakyat). Soeharto mengatur negara seperti seorang bapak dalam keluarga dimana ia menjadi pengayom dan pelindung sementara ‘anak-anaknya’ berkewajiban menerima perlindungan ini dengan mengikuti apa saja kehendak dari sang pengayom dan pelindung. Selain itu, dengan memimpin negara seperti keluarga, jaringan-jaringan dalam pemerintahan pun diatur seperti jaringan dalam keluarga. Orang akan dengan mudahnya menggunakan fasilitas negara jika ia termasuk ke dalam jaringan ‘keluarga’ itu. Dengan demikian, rakyat yang tidak mengikuti aturan negara akan dianggap seperti anak hilang yang tidak pantas mendapatkan perlindungan dari ‘Sang Bapak’, atau lebih tepatnya akan menjadi ‘terhukum’.
Pada bab I, judul yang dipilih oleh Saya Shiraishi adalah Pengantar atawa Introduksi kepada Indonesia Orde Baru. Mengapa Shiraishi memilih menggunakan judul demikian lebih didasari dengan fokus penelitiannya tentang situasi politik Indonesia di era Orde Baru serta kaitannya dengan sistem kekeluargaan yang mendasarinya. Dalam bab ini, ia menulis tentang praktek antar-jemput yang lazim terjadi dalam keluarga Indonesia serta jaringan-jaringan yang mungkin dari keluarga itu. Dikatakannya bahwa jaringan-jaringan itulah yang membuat orang Indonesia merasa aman karena tidak terasing dari keluarganya. Ketika jaringan-jaringan ini juga merasuk dalam dunia politik dan pendidikan, maka mentalitas kekeluargaan ini menjadi sistem pemerintahan yang mengurangi profesionalitas pelayanan publik. Digambarkan olehnya dimana fasilitas negara dengan seenaknya dapat digunakan oleh para pejabat tertentu berikut keluarganya, termasuk acara-acara keluarga. Terhadap realitas itu, orang Indonesia merasa sah-sah saja karena semuanya berdasar pada sistem kekeluargaan. Orang yang tidak termasuk ke dalam jaringan-jaringan itu dikategorikan sebagai orang asing yang sewaktu-waktu menjadi pengacau/ancaman bagi yang lain. Untuk meredam pengacau dan ancaman ini, orang harus dirangkul dan disatukan ke dalam ‘keluarga’ dengan jaminan perlindungan. Secara tidak sadar, realitas ini dapat menjadi dasar dari mentalitas korupsi, kolusi dan nepotisme, tentu dengan alasan kekeluargaan1.
Cara penulisan Saya Shiraishi sungguh menarik karena memulai dari pengalamannya menjejakkan kaki di bandara, berjumpa dengan realitas sosial antar-jemput setiap keluarga dan orang-orang asing yang tidak ada penjemput. Setelah itu, ia menuliskan pengalamannya bertemu dengan teman-teman dan bagaimana mengarungi Jakarta. Dari pengalaman sederhana sehari-hari, Saya Shiraishi memotret suatu mentalitas masyarakat Indonesia Orde Baru yang begitu merasuki segenap sistem sosialnya. Bahkan dari cerita-cerita anak-anak pun dapat ditelusuri betapa mentalitas kekeluargaan ini telah menjadi sebuah budaya yang lazim (umum). Ada kecurigaan Saya Shiraishi tentang sistem kekeluargaan ini yang menyebut bahwa sistem kekeluargaan ini sebenarnya bukan khas Indonesia melainkan khas Jawa, namun ia tidak secara khusus menguraikan hal ini. Ia hanya membandingkan sistem kekeluargaan yang ditemuinya di Indonesia dengan sistem kekeluargaan model Eropa modern. Di Indonesia, teman pun (tidak terbatas pada legitimasi seksual bapak ibu dan anak) bisa menjadi keluarga bila ia masuk ke dalam jaringan-jaringan itu, sementara sistem kekeluargaan Eropa modern berdasarkan hubungan legitimasi. Hal ini menjadi point penting untuk melangkah lebih jauh dalam mengenal sistem kekeluargaan di Indonesia.
Sebagai sebuah buku anthropologi, Pahlawan-pahlawan Belia merupakan buku yang menarik karena menggunakan model penulisan semacam jurnal. Data dan informasi yang ditampilkan oleh Saya Shiraishi merupakan realitas konkret yang terjadi di masyarakat Indonesia, secara khusus dengan sistem keluarganya. Meski begitu, ia juga menuliskan beberapa kekagumannya yang nampak dari perbandingan-perbandingan dengan budaya lain serta penilaian terhadap sistem kekeluargaan ini. Jika ditanya hal apakah yang perlu ditambahkan dalam tulisan Saya Shiraishi ini, adalah mengulas sedikit tentang asal muasal tradisi kekeluargaan ini yang mendasari sistem perpolitikan Orde Baru yang khas Jawa. Meski jika penambahan ini dilakukan akan semakin memperlebar cakupan penelitian, namun pandangan awal mengenai mentalitas kekeluargaan ini tentu akan memberi dasar yang cukup baik bagi penelusuran lebih lanjut mengenai ‘keluarga’ dalam politik Indonesia di Era Orde Baru.

1 Roman N Lendong, Bahaya "Politik Keluarga",http://www.kompas.com/kompascetak/0108/27/dikbud/baha37.htm

RISALAH UNTUK INDONESIA


Sebuah indikasi yang baikkah saat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengambil alih kasus BLBI dari Kejaksaan Agung karena diketahui bahwa ternyata pihak Kejaksaan terlibat dalam kasus penyuapan? Ataukah kasus ini justru mengungkapkan telah sebegitu buruknya kondisi hukum dan peradilan di negeri ini?
Dari satu kasus dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang penilaian. Bisa jadi keputusan dari KPK untuk mengambil alih kasus BLBI merupakan pilihan yang tepat sekaligus menjadi semacam indikasi mulai ditegakkannya pemberantasan korupsi di negeri ini. Akan tetapi dengan terjadinya kasus penyuapan terhadap salah seorang anggota Kejaksaan Agung ini cukup menjadi bukti bahwa hukum di negeri ini belum begitu ditegakkan dengan semestinya. Hukum yang dibuat demi kesejahteraan bersama justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi ataupun sekelompok orang. Ironis memang, ketika kita berhadapan dengan begitu banyak warga negara ini yang menderita karena berbagai bencana seperti korban Lumpur Lapindo, tanah longsor, banjir, dan kemiskinan struktural, masih saja ada sebagian orang yang tega memanfaatkan uang negara demi kepentingan pribadi. Meski akhirnya para pelaku korupsi itu tertangkap dan diadili, namun seakan hukum di negeri ini tidak pernah berpihak pada orang-orang yang menderita itu. Orang-orang yang menderita itu justru menjadi korban dari kesewenang-wenangan dari sebagian orang yang menggunakan hukum sebagai penjamin status quo kekuasaannya. Akses untuk memperjuangkan hak-hak dari para korban dalam memperoleh kesejahteraan seringkali berakhir sia-sia di hadapan hukum. Itulah salah satu kelemahan sistem hukum di Indonesia ini yang sama sekali tidak berpihak pada orang miskin, salah satu contohnya adalah adanya Undang-Undang Penertiban Pengemis, Gelandangan dan Pedagang Kaki Lima. Mengapa tidak ada hukum yang mengatur tentang Pemeliharaan atas para gelandangan, anak jalanan, pengemis, tunawisma, pengangguran, dan tunjangan bagi para keluarga miskin? Mengapa tidak pernah ada hukum yang mengatur tentang tanggung jawab pemerintah untuk memberantas kemiskinan struktural dengan menindak tegas para pelaku korupsi?
Memang dengan adanya hukum yang lebih memperhatikan kesejahteraan kaum tertindas tidak serta merta menjamin terciptanya keadilan sosial. Hukum itu hanya menjadi salah satu instrumen untuk menjamin terwujudnya keadilan, namun salah satu aspek yang penting juga untuk diperhatikan adalah sistem internalisasi hukum ke dalam mentalitas segenap warga masyarakat. Selama ini, sistem internalisasi yang terjadi hanya sebatas menyangkut sisi luar dari hukum, dalam arti sisi performativitas hukum. Internalisasi belum menyentuh bagian inti (hakikat) dari hukum tersebut. Internalisasi yang hanya menyentuh bagian luar dari suatu nilai hanya akan berakhir pada tumpulnya suara hati. Hukum hanya dipandang sebagai kumpulan petunjuk agar terhindar dari sanksi sosial sekaligus sebagai bentuk legitimasi untuk melindungi kepentingan tertentu meski secara hakiki mengingkari kebenaran. Dalam hal ini, kebenaran belum menjadi realitas tertinggi yang harus dijunjung tinggi oleh hukum. Hukum seperti ini hanyalah menjunjung tinggi realitas konsensus atas dasar kepentingan dari pihak-pihak tertentu yang berkuasa. Dengan demikian, rakyat miskin dan masyarakat yang tak mampu bersuara akan selalu menjadi korban.
Kasus-kasus semacam: tidak terperhatikannya korban Lumpur Lapindo; korupsi di Kejaksaan Agung; Ilegal Logging; penggusuran paksa demi ketertiban kota; tidak terperhatikannya para anak jalanan, gelandangan, dan warga miskin perkotaan; serta bencana-bencana yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan; dan tidak tuntasnya pengadilan terhadap kasus mantan Presiden Suharto merupakan bagian dari tidak adanya sistem internalisasi hukum yang kondusif di negeri ini. Agama dan kebijaksanaan lokal (local wisdom) pun mulai mengalami kedangkalan makna dan fungsinya sebagai acuan moral yang menjadi agen internalisasi kebenaran dalam hukum ini. Lantas apakah hidup sejahtera di negeri ini adalah sebuah utopia? Salah satu hal yang masih selalu menjadi pengharapan adalah keberanian untuk menyuarakan adanya ketertindasan dan ketidakadilan di negeri ini oleh berbagai pribadi maupun lembaga. Meski terkesan utopis, namun sedikit demi sedikit kesadaran untuk selalu berbenah akan tumbuh mulai dari akar rumput. Setidaknya, para korban itu mulai menyadari realitas dirinya sebagai korban dan mau berjuang untuk bangkit bersama sebagai sebuah komunitas alternatif tanpa harus menyimpan sakit hati karena telah ‘dikorbankan’ oleh hukum yang ada. Oleh karena itu, peran media juga begitu penting untuk mendukung internalisasi ini. Anehnya, di Indonesia ini tidak banyak media yang berani menyuarakan tentang realitas ketertindasan sebagai fakta yang harus diangkat sebagai tema keadilan hukum. Membebaskan masyarakat yang tertindas agar memperoleh keadilan adalah salah satu nilai kebenaran yang harus dijunjung tinggi oleh hukum dan diterapkan dengan bantuan segala perangkat penegaknya. Sebuah kritik tentunya patut dialamatkan bagi media-media yang hanya mengungkapkan fakta-fakta besar namun tidak menyentuh inti dasar kebenaran yang hendak disampaikan yakni keadilan sosial. Meski begitu, kritik terhadap media ini juga harus melewati autokritik terlebih dahulu bahwa mungkin saja media-media tersebut telah terjalin dalam sebuah konstelasi kekuasaan dan mentalitas orang/kelompok tertentu yang berkuasa dalam memanfaatkan hukum demi kepentingan tertentu. Meski demikian, semoga dengan mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi di masyarakat kita, internalisasi kebenaran dalam hukum semakin menggerakkan kesadaran setiap orang untuk berjuang demi keadilan.

INDONESIA MEMBUTUHKAN KEMERDEKAAN EPISODE KEDUA


Sebentar lagi pesta pemilihan umum di negeri ini akan digelar. Jauh-jauh hari sebelumnya, mulai muncul wakil-wakil rakyat yang tergabung dalam sebuah kelompok politik yang bernama partai politik. Mereka besama-sama berlomba menarik simpati rakyat agar dipercaya untuk mengatur dinamika kehidupan negeri ini di tahun-tahun yang akan datang. Mereka semua berlomba, demi sebuah kepercayaan dan kekuasaan, meraih suara rakyat agar mendukung mereka secara penuh, meski setelah itu, rakyat bisa dilupakan begitu saja. Seperti halnya yang terjadi pada saat pemilu tahun lalu. Sebuah partai kecil akhirnya memenangi pemilu dan berhasil menghantarkan salah satu calon presiden dari partainya mendapatkan kedudukan sebagai presiden. Namun apa yang terjadi setelah itu, politik memang selalu kejam dan culas, kata beberapa seniman. Baru di dalam pemerintahan presiden itu, rakyat Indonesia mengalami kembali masa-masa menyedihkan ketika harus antre sembako atau BLT, harga BBM melambung tinggi, hingga pengesahan undang-undang yang terkesan diskriminatif terhadap golongan masyarakat tertentu. Selalu saja, ketika dalam suatu pesta demokrasi, politik dimaknai sebagai sebuah usaha meraih kekuasaan, prinsip bagi-bagi kekuasaan pun muncul di antara partai-partai yang menamakan diri pejuang bagi rakyat, ujung-ujungnya, disamping berbagi kekuasaan, mereka pun berbagi duit, seperti yang terjadi pada para koruptor yang kebanyakan justru berasal dari kalangan wakil-wakil rakyat itu. Itulah demokrasi model Indonesia. Tak ada lagi tokoh semacam Bung Karno, atau Bung Hatta yang sungguh-sungguh berjuang bagi bersatunya bangsa, memihak kaum miskin dan terbelakang di negeri ini, menggunakan kekuasaan sebagai sarana pelayanan bagi yang lemah.
Semenjak politik Indonesia dikuasai oleh golongan militer dan pengusaha, tak ada lagi nasionalisme yang menjiwai semangat hidup berbangsa. Yang ada kini hanyalah kapitalisasi politis demi sebuah kekuasaan. Rakyat tidak lagi menjadi yang utama untuk diperjuangkan kesejahteraannya. Partai politik menjelma menjadi sebuah perusahaan model kapitalistik material yang hanya menguntungkan pihak-pihak elit partai. Hal ini tampak jelas ketika iklan-iklan politik pun bermunculan di televisi-televisi negeri ini yang memang amat akrab dengan iklan dan pengebirian massa dengan sinetron-sinetron penjual mimpinya. Dan rakyat pun semakin acuh dengan tingkah para penguasa itu, sebab bagi mereka, nasionalisme sekarang ini tak ubahnya dengan omong kosong yang tak dapat lagi memberi sebuah kemerdekaan. Nasionalisme sama saja dengan bunuh diri ketika rakyat telah terbagi dalam kotak-kotak golongan tertentu yang tak lagi menjadikan persatuan sebagai dasar perjuangannya. Perjuangan pun beralih ke arah fragmentasi fundamentalistik golongan,jika perlu, kekerasan digunakan demi meraih kekuasaan bagi sekelompok golongan tertentu. Jika demikian, masih tersisakah nasionalisme di negeri ini?
Negeri ini memerlukan sebuah pembaharuan. Mungkin pembaharuan ini akan lebih berat daripada apa yang dikerjakan oleh para pendiri bangsa ini. Sebab apa yang dihadapi oleh generasi sekarang ini bukanlah penjajah dalam arti sesungguhnya yakni imperialisme dan kolonialisme dari suatu bangsa lain tetapi lebih merupakan imperialisme model baru yang berwujud dalam kapitalisasi politis dan sektarian dari para warganya sendiri. Semangat persatuan dan kesejahteraan sosial yang mencakup rakyat semuanya perlu mendapat tekanan yang utama. Kekuasaan yang berarti sarana pelayanan bagi kesejahteraan rakyat miskin perlu menjadi kesadaran dari para pejuang pembaharuan. Dan ini semua telah diawali oleh para mahasiswa yang sungguh tulus berjuang demi kesejahteraan rakyat banyak serta para pejuang demokrasi yang telah gugur selama ini demi sebuah kesejahteraan dan keadilan. Pembaharuan ini lebih mengarah pada pembaharuan mental sebagian besar manusia Indonesia yang begitu mudah menyerahkan diri pada imperialisme model baru dalam wujud kekuasaan dan materi, serta fundamentalisme golongan. Akankah muncul Bung Karno, Bung Hatta serta tokoh-tokoh nasionalisme baru yang akan membebaskan bangsa ini dari pejajahan model tersebut? Kita tentu saja boleh berharap bahwa di negeri ini masih tersisa jiwa-jiwa pejuang yang murni dan tulus untuk melakukan perubahan itu. Pesta demokrasi tahun 2009 pun dapat menjadi salah satu harapan yang terbentang luas akan hadirnya pejuang-pejuang itu. Kesimpulan dari semuanya ini adalah dibutuhkannya kemerdekaan episode kedua bangsa ini dari segala bentuk penjajahan mentalitas yang justru amat mengerikan. Dan Rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi dari pemerintahan negeri ini. Adakah partai yang sungguh mampu memperjuangkan hal ini?
Selamat merenung sebelum sungguh-sungguh memilih.