Sabtu, 26 Desember 2009

Perdebatan tentang Transendensi dan Imanensi Allah dalam Monotheisme Islam-Kristen

(Studi tentang Kritik Abu Isa al Warraq dan Abd al Jabbar atas Doktrin Trinitas)

1.       Pengantar
Salah satu tema perdebatan antara umat Islam dan Kristen dalam penghayatan iman dan hidup keberagamaannya adalah tentang monotheisme tawhid dan monotheisme trinitas. Bagi umat muslim, doktrin trinitas ditolak dengan tegas karena melanggar prinsip keesaan Allah. Pertentangan tentang monotheisme tawhid dan monotheisme trinitas ini menjadi tema perdebatan yang telah berlangsung berabad-abad. Bahkan perdebatan teologis mengenai hal ini telah muncul sejak abad awal Islam dan abad awal bagi Kristianitas dalam menetapkan doktrin Trinitas. Dari kalangan Islam kala itu, tokoh-tokoh mutakallim (teolog Islam) dari kaum Mutazila mulai mengkritik dan mempertanyakan tentang doktrin Trinitas sebagai bagian dari pergulatannya atas ‘kalam’. Sementara itu, dari pihak Kristiani, para Bapa Gereja (teolog dan apologet) pun memunculkan refleksi teologis yang terus berlanjut dalam rangka memahami Allah dalam Trinitas.
Dalam tulisan ini, akan dipaparkan tentang kritik dua tokoh mutakallim Mutazila tentang Trinitas dan ajaran serta sejarah Kristianitas yang hidup sekitar abad ke-9/10. Dua tokoh itu adalah Abu Isa al Warraq dan Abd al Jabbar. Kritiknya terhadap Kristianitas dengan segala perjalanan sejarah serta doktrin-doktrinnya tentang Allah telah memperkaya khasanah teologis bagi Islam maupun Kristen. Melalui kritik dan perdebatan tentang Islam-Kristen ini, setidaknya setiap umat beriman ditantang untuk berani mempertanggungjawabkan imannya demi suatu dialog teologis yang konstruktif. Perdebatan dan penelusuran akan Allah ini pertama-tama bukan untuk memasung Allah dalam pemikiran manusia, tetapi dalam rangka membuka kejernihan akal budi akan pewahyuan Allah yang hadir dalam kebebasan dan perjuangan manusia itu sendiri dalam menangkap Dia.

Minggu, 06 Desember 2009

Konflik Islam Kristen: Konflik Identitas atau Nilai?

            Dalam catatan hariannya yang tertanggal 13 Desember 1971, Ahmad Wahib[1] menulis sebuah risalah yang diberinya judul: ‘Bunda Maria Dalam Mimpi’. Secara jujur dan vulgar, ia menulis demikian:
Tadi malam aku bermimpi bertemu Bunda Maria. Dia berbaju putih, berwajah agung penuh kekudusan. Bunda Maria tersenyum dan memandangku. Aku merasa bahagia dan sejuk dalam pandangan kasihnya. Aku sendiri bukan penganut Kristen. Tapi aku tidak tahu mengapa aku merasa memperoleh kedamaian dan kebeningan pikir sewaktu berhadapan dengannya. Adakah yang seperti itu akan terjadi dalam hidupku yang nyata?
Aku  merindukan dia yang penuh kebijaksanaan, yang pandangannya lembut dan teduh, yang setiap pernyataan pribadinya membuatku kagum dan hormat.[2]
Ungkapan ini terasa amat jujur dari seorang yang mengalami sapaan rohani dari sosok bijaksana dan penuh kasih Bunda Maria, yang oleh kalangan umat Kristiani diimani sebagai Bunda Kristus Sang Penyelamat. Melalui ungkapan ini, Ahmad Wahib menunjukkan kebebasan hatinya dalam menjalin relasi dengan kelompok agama lain bukan dari identitasnya tetapi dari kedalaman nilai rohani yang didapatnya. Ia adalah seorang Muslim yang taat. Dan ia benar-benar menjadi seorang yang sungguh Muslim ketika ia mampu mendialogkan keyakinannya dengan kebenaran lain di luar keyakinannya. Baginya, kebenaran hanya tercapai bila melalui dialog dengan yang lain. Oleh karena pandangan ini pula, Ahmad Wahib termasuk tokoh Islam yang memiliki wawasan liberal di Indonesia. Pemikiran-pemikirannya dalam catatan hariannya yang telah diterbitkan oleh LP3ES dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam telah mengajak segenap umat beriman di Indonesia ini untuk kritis terhadap imannya sendiri dan mau menekankan nilai esensial agama sebagai dasar penghayatan hidupnya.

Minggu, 13 September 2009

Menelaah Persoalan Kloning dan Stem Sel dari Segi Etika Moral Gereja Katolik



Pengantar

Beberapa tahun terakhir perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang sungguh amat mencengangkan. Sama halnya dengan kemajuan bioteknologi. Berbagai macam penelitian dan penemuan baru terjadi memunculkan sebuah kemajuan yang luar biasa. Salah satu contoh kemajuan dalam bidang bioteknologi tersebut adalah penelitian dan penemuan baru tentang Kloning dan Stem sel (Sel Punca). Secara biologis, penelitian dan penemuan ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup signifikan. Penelitian demi penemuan baru lebih lanjut tentang Kloning dan Stem Sel mulai diadakan demi menunjang kemajuan dalam bidang biologi maupun medis, di samping juga merupakan peluang baru dalam kemajuan di bidang bisnis.

Kamis, 18 Juni 2009

Global Transformation Reader (Book Report)

Judul : Global Transformation Reader
Pengarang/editor : David Held dan Anthony McGrew (ed)
Penerbit : Polity Press, Cambridge
Tahun Terbit : 2000
Halaman : 624 hal
Ukuran : 244 x 172 mm, 6.75 x 9.75 in

Dewasa ini, istilah globalisasi mulai muncul sebagai sebuah fenomena sosial dan kultural real dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Berbagai macam pandangan muncul sebagai bagian dari konseptualisasi atas istilah globalisasi. Apakah globalisasi itu dan bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan manusia? Berikut adalah pertanyaan dasar yang hendak dijawab oleh manusia zaman ini ketika mereka mulai menyadari munculnya realitas ‘globalisasi’. Dalam rangka menjawab serta menjernihkan persoalan yang muncul seputar istilah globalisasi tersebut, Buku Global Transformation Reader merupakan sebuah buku penting yang mencoba menjawab dan menjernihkan pokok persoalan tentang ‘globalisasi’. Buku ini merupakan sebuah kumpulan karangan dari para ahli ilmu sosial, politik, kebudayaan, sejarah , ekonomi, hubungan internasional, dan para akademisi tentang ‘globalisasi’. Tulisan-tulisan dalam Global Transformation Reader ini merupakan pemikiran-pemikiran yang mencoba memahami apa itu globalisasi berikut penelusuran sejarah asal mulanya globalisasi. Tentu pemikiran-pemikiran itu akan sangat beranekaragam, mengingat luasnya konsep makna atas globalisasi itu sendiri. Namun secara jelas dan runtut, Global Transformation Reader memetakan pemikiran-pemikiran tersebut sebagai sebuah debat tentang ‘globalisasi’. Disebutkan, bahwa dalam memahami apa itu globalisasi, terdapat dua arus pemikiran yang cukup besar berkaitan dengan respon mereka dalam memahami apa itu globalisasi.

Corporate Power and Global Production Networks

Dalam tulisannya tentang Corporate Power and Global Production Networks, David Held hendak mengungkapkan bagaimana proses globalisasi ini secara marak mulai terjadi dengan munculnya FDI (Foreign Direct Investment) pada periode pasca perang Dunia Pertama. FDI yang awalnya terjadi berdasarkan pada negara-negara yang memiliki hubungan secara politik dan dibatasi oleh kedekatan geografis pun mulai meningkat menjadi FDI lintas batas. Negara-negara dengan perekonomian maju dan modal kuat menjadi sumber aliran FDI yang paling menonjol. Pada periode awal mulai mengglobalnya FDI, negara yang paling besar prosentasinya dalam FDI dunia adalah Inggris dan Amerika (David Held: 240). Pada periode sebelum tahun 1945, FDI dan produksi internasional masih begitu dibatasi dan aktivitas dari MNC-MNC masih terbatas pada negara-negara tertentu, meski pada negara-negara produsen besar sumber daya alam seperti: minyak, tambang, dan bahan pertanian penting seperti karet, mulai dirambah oleh para investor yang mulai mendirikan afiliasi-afiliasi internasional demi produksi internasional (David Held: 241). Pada periode-periode awal pasca perang Dunia I dan II, sumber daya alam seperti besi, minyak, karet, dan bahan tambang lainnya menjadi sasaran yang banyak dicari oleh para investor dalam mengembangkan produksi internasional. Tujuan utama atas produksi itu adalah sebagai usaha pembangunan dan pemupukan modal. Sejak saat itu pulalah MNC mulai muncul dan memiliki kekuasaan sendiri yang mampu menerobos batas-batas politik maupun geografis suatu negara. Sejak saat itu (sekitar tahun 1960-an) juga aliran FDI mulai berkembang pesat dari pada GDP dunia (David Held:242). Dalam arti ini, FDI dan MNC menjadi agen utama dari pasar modal global yang prosentasi jumlah transaksinya melebihi transaksi perdagangan sektor riil antar negara.

Kamis, 04 Juni 2009

Semburan Lumpur Panas Lapindo Brantas Inc: Potret ‘Kekalahan’ Negara Oleh Korporasi Global



Pada tanggal 29 Mei 2006, 2 hari setelah gempa besar mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya, lumpur panas menyembur dari sumur Banjar Panji-1 milik PT. Lapindo Brantas di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Semburan lumpur mencapai 150.000 meter kubik setiap hari. Hingga bulan Mei 2007 semburan lumpur ini belum berhasil dihentikan. Semburan lumpur panas ini tidak dapat dihentikan hinga menyebabkan tertutupnya tak kurang dari 10 pabrik dan 90 hektar sawah serta pemukiman penduduk. Selain itu, luapan lumpur panas yang semakin tak terkendali ini mengganggu arus transportasi kerta api dari dan ke Surabaya serta menyebabkan jalan tol Surabaya-Gempol ditutup.[1] Peristiwa ini sungguh mengejutkan masyarakat Indonesia. PT. Lapindo Brantas yang merupakan kontraktor pertambangan minyak multinasional dan pemilik sumur Banjar Panji-1 dituding melakukan kesalahan dalam melakukan prosedur pengeboran yang menyebabkan terjadinya bencana lingkungan tersebut. Mulai saat itu, tuntutan dari berbagai pihak akan tanggungjawab PT. Lapindo Brantas bermunculan dan keberadaan PT. Lapindo Brantas sebagai perusahaan pertambangan minyak berskala multinasional pun mulai dipertanyakan.
Peristiwa semburan lumpur panas di desa Renokenongo ini telah menyebabkan kerugian yang amat besar bagi warga masyarakat yang kehilangan tempat tinggal. Selain itu, peristiwa ini juga memiliki dampak lingkungan yang amat serius berkaitan dengan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Sementara itu, pihak PT. Lapindo Brantas terkesan lamban dalam menanggapi kasus ini. Bahkan dalam beberapa kesempatan, pihak PT. Lapindo berusaha untuk menghindar dari tanggungjawab sosial yang harus diberikan sehubungan dengan ganti rugi atas peristiwa itu. Kasus ini sempat membuat warga setempat mengajukan protes ke pemerintah sehubungan dengan proses ganti rugi yang seolah-olah dilalaikan oleh pihak PT. Lapindo.

Kamis, 23 April 2009

Jerat dan Tipu Daya WTO dalam AoA


Membaca tulisan Khudori tentang Jerat dan Tipu Daya WTO dalam AoA, dalam bukunya Neoliberalisme Menumpas Petani (Resistbook, 2004) cukup membuat saya terhenyak. Meski tidak cukup mudah untuk memahami berbagai macam istilah hukum internasional tentang perdagangan melalui WTO, World Bank dan IMF serta kaitannya dengan free market age, menurut saya tulisan Khudori ini cukup menghentak kesadaran tentang realitas jerat dan tipu daya WTO dalam ‘menghancurkan’ pertanian tradisional di negara-negara Dunia Ketiga.

Gagasan yang hendak diungkapkan oleh Khudori adalah kebohongan WTO, World Bank dan IMF dalam rangka memajukan pembangunan nasional suatu negara dengan doktrin pasar bebasnya. Ketiga badan internasional tersebut justru menjerumuskan negara-negara dunia ketiga pada situasi kemiskinan, terpinggirkan, dan tidak lagi memiliki bargaining power dalam mengembangkan perekonomian serta pertanian domestiknya. Untuk menunjukkan adanya realitas tipu daya ini, Khudori mengungkapkan data-data yang komprehensif mengenai mekanisme perdagangan internasional yang dimonopoli oleh ketiga badan internasional tersebut (WTO, IMF dan World Bank). Salah satu bentuk monopoli perdagangan internasional tersebut terungkap dalam AoA (Agreement on Agriculture). Pada awalnya, WTO dan badan-badan dunia semacam IMF dan World Bank bertujuan untuk menjamin keadilan dan kebebasan dalam perdagangan maupun pembangunan perekonomian dunia dengan kesepakatan-kesepakatan internasionalnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, WTO dan badan dunia semacam IMF dan World Bank ini justru memungkinkan negara-negara maju dengan sistem kapitalisme industrialnya dapat memonopoli perekonomian dunia dan mematikan perekonomian di negara-negara dunia ketiga.

Selasa, 07 April 2009

Mengapa Orang Indonesia Enggan Menjadi Petani?

Membaca tulisan Khudori tentang Sejarah Neoliberalisme Pertanian di dalam bukunya yang berjudul Neoliberalisme Menumpas Petani sungguh menantang saya. Tulisan tersebut membuat saya bertanya-tanya, mengapa orang Indonesia sekarang ini enggan menjadi petani. Persoalan tentang penderitaan petani yang terjadi di Indonesia ini ternyata memiliki akar sejarah yang panjang dan kompleks. Disebutkan oleh Khudori bahwa sejarah pertanian di dunia ini tidak bisa terlepas dari sistem ekonomi yang mulai melibatkan unsur negara (nation state), terlebih dengan kewenangannya dalam mengatur sistem perdagangan. Dalam sistem perdagangan itu, muncul suatu ideologi yang disebut sebagai ideologi liberalisme. Meski pada awalnya, liberalisme merupakan ekspresi ideologis perjuangan kaum borjuis dalam menghadapi kubu konservatif, namun ideologi ini telah melahirkan sebuah sistem perdagangan yang kian mengglobal yang disebut sebagai sistem perdagangan bebas (Khudori: 16). Sistem perdagangan bebas ini muncul dari sistem ekonomi liberalisme yang dipicu oleh karya Adam Smith, The Wealth of Nations pada tahun 1776. Dalam sistem ekonomi liberalisme ini, intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi dianggap justru sebagai hambatan utama dalam pengembangan kesejahtaraan masyarakat. Smith menganjurkan agar pemerintah membiarkan mekanisme pasar bekerja dengan sendirinya dengan melakukan deregulasi, menghilangkan segala bentuk hambatan (tarif dan non-tarif) dan restriksi. Sistem inilah yang memunculkan ideologi kapitalisme dimana modal memegang peranan penting dan produksi besar-besaran nan kompetitif menjadi orientasi dasar dari pertumbuhan ekonomi. Pasar menjadi penentu satu-satunya kebijakan pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh the invisible hand. Oleh karena itulah muncul prinsip free trade, yang akhirnya menguasai juga dalam dunia pertanian. Usaha untuk menangkal prinsip free trade ini adalah kebijakan negara yang disebut sebagai proteksionisme. Kebijakan ini diberlakukan demi melindungi produk-produk domestik (termasuk juga produk pertanian) dari ancaman produk luar negeri. Meski demikian, akhirnya sistem ekonomi liberalisme ini runtuh pada sekitar tahun 1930-an karena depresi besar yang melanda Eropa. Keruntuhan ini memunculkan tokoh ekonomi baru yakni John Maynard Keynes, yang memunculkan gagasan perlunya intervensi pemerintah dalam sistem ekonomi. (Khudori: 19) Sistem free trade ini berkembang sedemikian pesat dengan munculnya kolonialisme dan imperialisme. Hal ini dipicu dengan lahirnya revolusi industri di Inggris yang mulai merambah negara-negara Dunia Ketiga. Revolusi Industri Inggris telah memicu agresivitas kapitalisme dalam menguasai bahan baku murah dari negara-negara dunia ketiga serta lahan pemasaran atas produk-produk industrinya. Hal ini didukung juga lahirnya korporasi-korporasi awal dari Eropa yang menguasai perdagangan dan teknologi industri dunia.

Dalam konteks Indonesia, lahirnya kolonialisme dan imperialisme di bumi Nusantara ini pertama-tama dipicu oleh sistem ekonomi liberalisme ini yang hendak menguasai perdagangan bahan pertanian Indonesia. Diawali oleh VOC yang hendak menguasai perdagangan pertanian di Indonesia hingga penjajahan politik dari Belanda atas Indonesia, motif dasar dari kolonialisme dan imperialisme ini pertama-tama adalah motif ekonomi (Khudori:23). Secara khusus, saat itu produk pertanian menjadi produk pokok dalam perdagangan bebas yang mulai mengglobal. Untuk mendukung hal ini, dibuat Agrarische Wet 1870 sebagai landasan hukum bagi investasi di bidang perkebunan yang membolehkan orang-orang asing untuk menyewa tanah. Dengan adanya Undang-Undang tersebut, petani-petani yang sebenarnya memiliki hak sepenuhnya atas tanah dan produksi pertanian tak lagi memiliki tanah dan menjalankan produksi pertaniannya secara adil. Korporasi-korporasi dan penanam modal yang menguasai hak penggunaan tanah itu telah menempatkan rakyat dalam ketertindasan. Hal ini diperparah dengan pemberlakuan cultuurstelsel (Tanam Paksa) oleh Johanes van den Bosch pada tahun 1830 (Khudori: 25). Sejak saat itulah penjajahan dan penindasan rakyat Indonesia oleh kolonialisme dan Imperialisme Belanda ini menjadikan rakyat sebagai orang asing di tanahnya sendiri. Pada saat itu juga, kolonialisme dan Imperialisme Belanda telah mengeruk keuntungan yang sangat besar dari hasil-hasil pertanian di Indonesia. Kecenderungan penanaman investasi pertanian dan perkebunan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara Asia dan Timur-Jauh pun mulai dirambah oleh korporasi-korporasi Eropa.

Warisan sejarah struktural pertanian era kolonialisme dan imperialisme tersebut masih juga tersisa hingga saat ini. Memang pada era Orde Lama, reformasi dan restrukturisasi pertanian mulai dimunculkan kembali. Usaha-usaha seperti KOGM (Komando Operasi Gerakan Makmur), PTD (Pamong Tani Desa), BMPT (Badan Perusahaan Bahan Makanan dan Pembuka Tanah) dimunculkan. Usaha ini berpuncak dengan lahirnya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) pada tahun 1960. Tujuan dari UUPA ini pertama-tama merupakan sebuah landreform yang meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Namun sekali lagi, landreform ini tidak dapat berjalan dengan mulus karena muncul pelbagai ‘aksi sepihak’ dari PKI dan lahirnya Orde Baru. Pada periode Orde Baru, kebijakan pemerintah menjadi lebih pragmatis dan UUPA di peti es-kan. Tujuan pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi yang mementingkan Peningkatan Produksi pangan demi pertumbuhan modal tanpa memperhatikan situasi rakyat dalam hal kepemilikan tanah. Hal ini diwujudkan oleh pemerintah dalam programnya yakni Revolusi Hijau (Peningkatan Produksi Pangan). Revolusi Hijau yang terjadi ternyata tanpa reformasi agraria. Revolusi Hijau ini memang mampu membuat Indonesia ber-swasembada beras, namun hal ini hanya mampu bertahan 5 tahun (1984-1989). Sejak tahun 1990-an, import beras semakin naik tajam. (Khudori: 33-39)

Selain itu, Revolusi Hijau yang dicanangkan oleh Orde Baru justru mengakibatkan para petani semakin menderita. Akibat-akibat Revolusi Hijau antara lain: melepaskan sebagian besar petani miskin lahan ke perangkap yang lebih dahsyat: ancaman globalisasi yang dihela oleh pasar bebas karena adanya monopoli bibit dan pupuk oleh MNC, ketidakseimbangan ekologis, ancaman terhadap keanekaragaman hayati, pemiskinan dan penindasan terhadap petani kecil. Inilah salah satu kegagalan pemerintah Orde Baru dalam mengembangkan sektor pertanian di Indonesia. Dengan mencanangkan Revolusi Hijau, pemerintah Orde Baru tidak ubahnya menjalankan sistem Tanam Paksa Baru dengan majikan utamanya adalah MNC-MNC sektor pertanian. Hal ini jelas terlihat bahwa para petani kecil yang tidak memiliki tanah, ataupun yang hanya memiliki tanah dari 0,0-0,5 ha berada dalam perangkap liberalisme perdagangan bebas global para MNC yang menguasai sebagian besar investasi penggunaan tanah, penyediaan bibit yang dikomersilkan, ketergantungan lahan pada pupuk-pupuk kimiawi buatan MNC, dan juga penyediaan irigasi yang tidak murah. Hal ini diperparah lagi dengan adanya kerjasama pemerintah Orde Baru dengan IMF. Disebutkan oleh Khudori, bahwa IMF membuat kewenangan pemerintah menjadi mandul karena pelbagai kebijakan ekonomi nasional, terutama kebijakan di sektor pertanian, berada di bawah dikte-dikte IMF. Artinya, para petani tetap menjadi korban dari suatu korporasi global sektor pertanian yang hanya menguntungkan pihak MNC ataupun pemilik saham tingkat global demi hasrat produksi besar-besaran tanpa keadilan. Inilah kebangkitan neoliberalisme dalam dunia pertanian. (Khudori: 37-44)

Dalam konteks global, neoliberalisme pertanian ditandai dengan lahirnya pertanian transgenik oleh MNC-MNC sebagai Revolusi Hijau kedua yang lebih dahsyat. Dengan kekuatannya yang melampaui kebijakan suatu negara tertentu, MNC-MNC tersebut telah menguasai benih yang seharusnya menjadi hak petani. Pertanian transgenik dilakukan demi semakin memperbesar pundi-pundi modal kapital saja dan peningkatan pangan secara pragmatis, tanpa memperhatikan sisi keamanan produk pertanian itu sendiri. Dan akhirnya, negara-negara Dunia Ketiga tetaplah yang dijadikan lahan eksploitasi, penindasan dan penjajahan. Para petani itu dipaksa untuk masuk dalam mekanisme pasar bebas global pertanian yang telah dimonopoli sepenuhnya oleh MNC dan didukung oleh kebijakan negaranya demi peningkatan pangan. Akhirnya, MNC-MNC ini juga akan mematikan petani lokal sebab sistem neoliberalisme pertanian telah menyerahkan harga suatu produk pertanian pada mekanisme pasar sementara produksi besar-besaran yang dikuasai oleh MNC telah juga menguasai pasar.
Adanya fakta bahwa neoliberalisme pertanian kini tengah mencengkeram para petani mulai mengusik benak saya. Tidak dapat dipungkiri bahwa neoliberalisme ini muncul sebagai kebangkitan sistem ekonomi liberalisme dari Adam Smith dimana kapitalisme global dengan ritual pasar bebas global-nya mulai mendapatkan wajah baru. Wajah baru itu tampak dalam kiprah MNC-MNC yang pertama-tama mengabdi para pemilik saham demi peningkatan produksi, yang artinya profit-oriented. Beberapa pertanyaan yang cukup mengganggu, muncul dalam benak saya: Bagaimana sistem liberalisme yang secara konseptual sangat mendukung terciptanya kesejahteraan sosial masyarakat manusia justru jatuh dalam suatu mekanisme penghisapan kehidupan begitu mengerikan? Bagaimana mungkin liberalisme dan mekanisasi pertanian yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan manusia justru tengah menggali kubur bagi peradaban manusia? Lantas bagaimanakah menciptakan sistem ekonomi yang mulai menghargai kembali sektor primer sebagai sebuah sektor signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak? Bagaimana menempatkan posisi petani dan rakyat kecil pada umumnya di tengah ancaman globalisasi pertanian dan teknologi? Dan tak lupa pula adalah bagaimana mengatasi ledakan investasi dalam sektor pertanian yang hanya menguntungkan pihak-pihak MNC dengan kepentingan-kepentingan globalnya?

Rabu, 01 April 2009

Paham Allah dalam era Postmodern

1. Pengantar

Dalam bagian bukunya yang berjudul Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-agama, dan Teologi, Romo Tom Jacob SJ mengulas tema tentang paham Allah dalam realitas postmodern. Menurut Romo Tom Jacob, postmodern pertama-tama dipahami bukan sebagai kritik agama tetapi sebagai kritik kebudayaan.[1] Meski pertama-tama sebagai kritik kebudayaan, realitas postmodernisme akhirnya juga mengkritik peran, posisi, dan realitas agama sebagai bagian dari kebudayaan dan sejarah peradaban manusia. Kritik terhadap agama ini akhirnya juga membawa kritik lebih lanjut terhadap spiritualitas, teologi dan paham Allah.[2] Era postmodern akhirnya memunculkan berbagai macam pertanyaan mendasar berkaitan dengan agama dan paham Allah yang cukup krusial bagi kehidupan manusia. Bagaimana Allah dialami dan dipahami di era postmodern ini? Apakah peran agama yang di dalamnya terkandung pemaknaan akan Allah bagi kehidupan sehari-hari manusia masa kini? Bagaimana iman dan wahyu dipahami dan dihayati dalam konteks dinamika hidup masyarakat postmodern? Beberapa pertanyaan berikut menunjukkan adanya proses kontinuitas refleksi peradaban manusia atas segala sesuatu yang dialaminya di dunia ini, termasuk ketika berhadapan dengan munculnya arus pemikiran/mentalitas postmodern.
Sebelum kita memasuki pendalaman lebih lanjut mengenai kritik terhadap kebudayaan, agama, dan paham Allah oleh postmodernisme, kita akan menelusuri satu persatu gagasan Romo Tom Jacob mengenai hal itu. Pertama-tama kita perlu memahami realitas postmodern sebagai kritik kebudayaan, realitas sosial, dan sebagai sebuah fenomen cara berpikir maupun bertindak dari masyarakat pasca Enlightenment. Setelah itu, satu persatu akan dibahas mengenai: postmodernisme dan agama, sekularisme, fundamentalisme, peranan teologi moral, fundamentalisme kristiani, spiritualitas teologis, dan akhirnya paham Allah dalam era postmodern.

2. Apa itu Postmodernisme?

Untuk memahami postmodernisme, pertama-tama kita harus mengerti apa itu ‘modern’. Dalam sub bab yang bertemakan postmodernisme, Romo Tom Jacob mengartikan ‘modern’ sebagai: (1) terbaru, mutakhir; (2) sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.[3] Dengan demikian, dunia sekarang ini masih termasuk dalam arti ‘modern’ itu. Dunia ‘modern’ ini diawali dengan adanya periode Enlightenment dimana manusia mulai melangkah untuk membebaskan dirinya dari kebutaan mereka, membebaskan diri dari batas pre-reflektif dengan alam dan untuk menjadi lebih sadar tentang kondisi eksistensi mereka sendiri, dan dengan bantuan kesadaran reflektif-ambil jarak untuk memimpin hidup mereka dengan penuh kemerdekaan.[4] Dengan demikian modernitas ditandai dengan bangkitnya kesadaran akal budi manusia yang mulai mendapat peran sentral dalam seluruh dinamika hidup manusia.
Kata ‘postmodern’ sendiri muncul sebagai bagian dari modernitas. Kata ‘post’ dalam ‘postmodern’ tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal ‘modern’. Konsep ‘postmodernitas’ yang sering disingkat sebagai ‘postmodern’ ini merupakan sebuah kritik atas realitas ‘modernitas’ yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek Pencerahannya.
Pertama-tama, kata ‘postmodern’ tidak muncul dalam filsafat ataupun sosiologi. Kata/wacana ‘postmodern’ ini muncul dalam arsitektur dan kemudian juga dalam sastra. Arsitektur dan sastra ‘postmodern’ lebih bernafaskan kritik terhadap arsitektur dan sastra ‘modern’ yang dipandang sebagai arsitektur totaliter, mekanis dan kurang human. Akhirnya kritik terhadap seni arsitektur dan sastra modern ini menjadi kritik terhadap kebudayaan modern pada umumnya yang dikenal sebagai era postmodern. Nafas utama dari postmodern adalah penolakan atas narasi-narasi besar yang muncul pada dunia modern dengan ketunggalan terhadap pengagungan akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar, dan beranekaragam untuk bersuara dan menampakkan dirinya. Menurut para pemikir postmodern, modernitas itu ditandai dengan sifat totaliternya akal budi manusia yang menciptakan sistem-sistem seperti sistem ekonomi, sosial, politik, dsb. Sistem-sistem itu akhirnya memenjarakan manusia sendiri sebagai budak dari sistem yang tidak menghargai sama sekali ‘dunia kehidupan’.
Tokoh-tokoh pemikir postmodern ini terbagi ke dalam dua model cara berpikir yakni dekonstruktif dan rekonstruktif. Para filsuf sosial berkebangsaan Prancis lebih banyak mendukung cara berpikir postmodern dekonstruktif ini. Para pemikir Perancis itu antara lain: Jean Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Richard Rorty. sementara pemikiran postmodern rekonstruktif dipelopori oleh Teori Kritis Mazhab Frankfurt seperti: Max Horkheimer, Theodor W Adorno, yang akhirnya dilengkapi oleh pemikiran Jurgen Habermas.[5] Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat[6], ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, dan apa yang dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai. Narasi-narasi kecil dibiarkan tumbuh dan menyuarakan suara anekaragamnya.[7]
Singkatnya, menurut Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki dua arti: (1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme, yang dipandang kurang human, dan mau kembali kepada situasi pra-modernisme dan sering ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap yang lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang menjurus ke arah sekularisme.[8]
Fenomena postmodernisme ini memunculkan berbagai macam persoalan tentang peran iman dan agama. Ketika manusia tidak lagi percaya akan rasionalitas yang dianggap telah gagal melanjutkan proyek pencerahannya, maka dunia tidak lagi diatur oleh kebenaran tunggal dan sistem mekanis. Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak dan direlativir, demikian juga agama, teologi dan ajaran iman. Pada saat itulah manusia berada dalam kotak-kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian jatuh kepada ekstrim fundamentalisme dan yang lain ke arah sekularisme. Untuk itu, persoalan dasar dalam dunia postmodern ini pertama-tama adalah soal hermeneutika dan komunikasi. Bahasa menjadi medan hidup yang terus menerus dikembangkan sebagai bagian dari proses hermeneutik dan komunikasi. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup ajaran iman agama, teologi, ataupun narasi-narasi besar lainnya, namun juga terjadi di setiap bidang kehidupan.

3. Postmodernisme dan agama

Apakah kaitan antara postmodernisme dan agama? Apakah arti ‘beriman dan beragama’ di tengah dunia yang postmodernis ini? Beberapa pertanyaan ini mulai mengemuka bagi orang-orang beriman dan beragama di tengah realitas dunia postmodern. Sebab secara langsung, arus gagasan postmodern juga mulai mengkritik serta mempertanyakan apakah agama dan iman tidak justru melanggengkan narasi-narasi besar totaliter modernisme? Jika memang benar demikian, tentu iman dan agama tidak lebih sebagai wujud atau bentuk kegagalan rasionalitas manusia yang menyebabkan manusia terjebak dan diperbudak oleh agama sebagai narasi besar yang bersifat totaliter. Pertanyaan dan kritik tentang agama ini muncul sehubungan dengan klaim kebenaran tunggal dari masing-masing agama tentang keselamatan manusia. Secara khusus lagi, agama-agama itu mendasarkan pada dogma atau ajaran iman yang bersifat metafisik, sesuatu yang jelas ditolak oleh arus pemikiran postmodern. Meski di sisi lain, agama-agama yang beranekaragam itu justru dapat menjadi salah satu realitas postmodern yang mulai menampakkan narasi-narasi kecil beranekaragam (plural).
Pada penjelasan sub bab ini, Romo Tom Jacob berusaha untuk melihat kaitan antara postmodernisme dan agama ini dalam konteks Indonesia. Menurut beliau, postmodernisme di Indonesia memang belum sangat terlihat karena situasi civilization, atau perkembangan IPTEK yang amat pesat belum terjadi di Indonesia. Namun konteks globalisasi dengan ditandai oleh melesatnya perkembangan teknologi komunikasi informasi, kapitalisme global dalam taraf puncak, telah merasuki di hampir setiap dimensi kehidupan masyarakat Indonesia.[9] Konteks inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia pun mulai dirasuki oleh semangat postmodernisme dimana ciri khas dasarnya adalah kejenuhan. Kompleksitas dinamika hidup dalam dunia postmodern tersebut telah menyebabkan sebagian besar masyarakat memiliki mentalitas tak mau repot, dan dangkal. Dalam dunia postmodern yang menyangkal segala bentuk totalitarianisme akal budi tersebut, orang dengan mudah lari ke arah individualisme pragmatis, konsumerisme, dan materialisme.
Pada situasi itulah pertanyaan tentang iman dan agama kembali menjadi penting. Orang mulai bertanya tentang sejauh mana agama merupakan ungkapan iman dan bukan hanya social behavior? Pertanyaan itu akhirnya membawa manusia era postmodern pada pertanyaan lebih lanjut tentang sejauh mana Allah itu real dalam kehidupan seseorang? Mereka mempertanyakan tentang Allah karena mereka percaya bahwa jika segala sesuatu yang ada sekarang ini merupakan usaha pemikiran manusia, maka paham Allah pun pantas untuk dipertanyakan sebab usaha manusia dengan segala akal budinya itu telah menuai kegagalan. Dalam arti ini pulalah mereka bertanya apakah paham Allah pun masih memiliki makna? Jika paham Allah tidak berarti lagi, maka agama juga tidak.[10] Dalam situasi ini dibutuhkan sebuah paham Allah yang real, yang sungguh manusiawi dan berperan langsung terhadap hidup manusia. Dengan demikian, persoalan imanensi dan transendensi kembali menjadi hal yang penting bagi manusia postmodern. Singkatnya, manusia yang hidup dalam mentalitas postmodern ini sungguh memerlukan sebuah pemahaman baru tentang realitas iman dan agama sebagai suatu hubungan real dengan Allah yang real. Pertanyaan tentang Allah yang real itu menjadi hal yang amat krusial dan dibutuhkan oleh orang-orang beriman dan agama di era postmodern.

4. Sekularisme

Salah satu ciri khas mentalitas postmodern adalah sekularisme. Bagi orang tidak beriman, dunia di era postmodern ini melulu merupakan bidang manusiawi, tidak ada kaitannya sama sekali dengan ‘Yang Ilahi’ atau ‘Yang Kudus’. Sedang bagi orang beriman, dalam dunia ini, hal manusiawi (profan, sekular) selalu ada kaitannya dengan ‘Yang ilahi’ atau ‘Yang Kudus’. Sekularisme ini pertama-tama ditandai dengan tidak bermaknanya agama dan iman dalam kehidupan sehari-hari, demikian juga akhirnya Allah. Menurut Romo Tom Jacob, hal ini disebabkan karena kebanyakan orang tidak lagi membedakan iman dan agama. Iman menjadi devosi dan ideologi, tidak lagi sebagai sebuah usaha untuk menyentuh dan menanggapi realitas Transenden. Iman tak lebih sebagai ideologi sosial yang mendapatkan wujud perjuangannya dalam agama sebagai sebuah komunitas sosial sekular. Pada saat itulah pengungkapan pengalaman religius terbatas pada formalisme agama saja. Hidup profan tidak lagi memiliki dimensi religius, ekspresi religius.[11]

5. Fundamentalisme

Realitas sekularisme tetap saja gagal dalam mengusahakan kesejahteraan bersama. Kapitalisme global dan konsumerisme serta materialisme hanya memunculkan kemiskinan pada sekelompok besar manusia. Situasi demikian itu memunculkan sebuah reaksi yang disebut fundamentalisme. Fundamentalisme sendiri muncul sebagai sebuah fenomen kebudayaan yang mengkritik dan menolak sekularisme yang terbukti gagal juga dalam mengusahakan kesejahteraan umat manusia. Istilah fundamentalisme sendiri pertama-tama muncul dalam ranah agama, khususnya teologi.[12] Pada periode selanjutnya, konsep fundamentalisme ini tidak lagi terbatas pada agama Kristiani saja tetapi menyangkut semua agama dan gerakan politik yang hendak mempertahankan ajaran tradisionalnya. Fundamentalisme ini muncul sebagai reaksi atas ketidakpastian era postmodern yang cenderung ‘kabur/tidak pasti’ dan beralih pada pijakan yang pasti dan terjamin.
Pada umumnya, fundamentalisme ini menyangkal kebebasan hati nurani, memperjuangkan etika-moral yang amat individualistis dan konservatif, fanatik yakin memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak toleran terhadap penganut agama maupun pandangan lain.[13] Fundamentalisme ini bisa mengarah ke tindakan primordial dalam tataran etnik. Apabila primordialisme kultural ini menjadi sedemikian kuat, maka fundamentalisme dapat memperalat agama sebagai bentuk reaksi perlawanan terhadap sekularisme. Motivasi pertama-tama memang bukan berlandaskan demi memperjuangkan nilai agama tetapi justru sikap primordialisme etnik. Inilah yang digambarkan oleh Romo Tom Jacob dalam analogi tentang pertentangan antara budaya Barat dan Timur yang diidentikan sebagai pertentangan Kristen dan Islam. Bahkan fundamentalisme yang didasarkan pada agama ini tidak segan-segan menggunakan kekerasan sebagai salah satu jalan mempertahankan sikap fundamentalisnya (fenomena jihad dalam Islam Garis Keras, misalnya). Pertentangan antara sekularisme dan fundamentalisme ini akhirnya akan menyebabkan mengkristalnya pertentangan antar kedua kutub itu karena sekularisme (yang akhirnya juga bersifat fundamentalis) juga menawarkan suatu bentuk ‘alternatif’ ketika agama-agama (fundamentalis) dipandang sebagai sumber kekerasan. Perlawanan ini menimbulkan terbentuknya sekularisme sebagai sebuah ideologi, dan tak lagi hanya sebagai fakta sosial.[14]

6. Peranan teologi moral

Menanggapi situasi demikian, masyarakat manusia hendaknya mengusahakan suatu pemahaman baru dalam hidup beriman dan beragama. Pertama-tama kita perlu menyadari bahwa fundamentalisme muncul karena disintegrasi masyarakat sebagai akibat proses pengasingan dalam kebudayaan modern. Maka fundamentalisme dijawab dengan memberikan suatu alternatif, baik untuk fundamentalisme sendiri maupun untuk sekularisme, bagi masalah disintegrasi itu.[15] Dalam konteks hidup beriman dan beragama, orang membutuhkan suatu teologi moral, yang dari satu pihak sungguh otonom (dan rasional) dan dari lain pihak benar-benar digerakkan oleh iman. Dengan demikian, pengalaman religius dan pertanyaan tentang Allah dipertanggungjawabkan sedemikian rupa dalam ranah moralitas. Pengalaman akan Allah ditemukan dalam pengalaman moral bersama dengan sesamanya di dalam dunia kehidupan.
Dalam ranah ini, teologi metafisik tidak mampu dipertahankan lagi, tetapi mengusahakan teologi yang lebih kritis terhadap situasi sosial. Teologi hendaknya menjadi semacam usaha terus menerus (unfinished project) yang berusaha merefleksikan keterlibatan Allah dalam sejarah keselamatan manusia. Dalam berhadapan dengan realitas postmodern, teologi hendaknya membuat dirinya sendiri dapat dipahami sebagai sebuah teori tindakan komunikatif dimana pengenangan dan antisipasi berlandaskan klaim pada Allah di dalam tindakan Allah di sini serta saat ini sebagai cinta yang absolut bagi orang lain dan diri sendiri (teologi moral).[16] Selanjutnya, menurut Romo Tom Jacob, masalah fundamentalisme, dan dialog dengan kelompok fundamentalis Islam, adalah masalah teologi moral fundamental: Apa dasar bagi tindakan manusia dalam membangun masyarakat yang makmur dan adil?[17]
Dengan kata lain, teologi menjalankan fungsi kritiknya terhadap agama dan teologi sendiri yang selama ini masih mendasarkan pijakan refleksinya pada hal metafisik semacam dogma dan tafsir harafiah Kitab Suci. Dasar refleksi iman dalam teologi tidak lagi ajaran yang sudah fixed dalam tradisi agama tetapi lebih pada pengalaman pribadi orang yang otonom dan relasional di dalam komunitas lokal serta global. Meminjam istilah Romo Tom Jacob, titik tolak refleksi teologis ini adalah antropologi dan bukan kultus atau dogma. Dogma dan Alkitab harus ditanyai oleh permasalahan zaman sekarang.[18] Dalam refleksi teologis berikut, yang penting adalah refleksi teologis praxis-oriented, bukan dalam arti intern-keagamaan tetapi tetapi justru berhubungan dengan tugas kemasyarakatan kaum beriman bersama.[19]
Untuk itulah, refleksi teologis di era postmodern ini tidak dapat tidak bersifat intersubjektif (relational-komunikatif). Artinya, iman dan agama direfleksikan oleh teologi sebagai suatu moral komunikasi yang bertanggungjawab atas keselamatan seluruh umat manusia dan ciptaan lainnya dalam rangka mengenangkan serta mengantisipasi Allah yang bertindak di sini, kini dalam cinta. Teologi dalam dunia postmodern hendaknya bernafaskan dialog. Dalam dialog postmodern ini akan muncul paham Allah yang baru, yakni Allah sebagai dasar pengharapan. Dia adalah Sang Pencipta yang menanggung segala-galanya dengan kasih-Nya.[20]

7. Fundamentalisme Kristiani

Pada pokok bahasan mengenai fundamentalisme Kristiani, Romo Tom Jacob mengulas tentang pokok-pokok persoalan munculnya kaum fundamentalis dalam iman Kristiani. Bagi Romo Tom, pemahaman lebih lanjut mengenai fundamentalisme kristiani ini amat dibutuhkan dalam rangka dialog dalam dunia postmodern. Menurut beliau, pertama-tama kaum fundamentalis kristiani muncul karena keberatan mereka terhadap tafsir Kitab Suci dengan metode historis-kritis. Bagi kaum fundamentalis, tafsir historis kritis dalam Kitab Suci berbahaya bagi pemaknaan atas sabda Allah. Menurut mereka, tafsir ini justru akan memunculkan degradasi iman terhadap Sabda Allah dalam kitab suci. Bagi kaum fundamentalis, Kitab Suci diterima sebagai Sabda Allah yang nyata, dan final sehingga segala bentuk tafsir yang berusaha mempertanyakan Kitab Suci secara historis dan kritis dianggap sebagai rongrongan terhadap iman kristiani. Penafsiran terhadap Kitab Suci pada diri mereka lebih bersifat harafiah tekstual sehingga segala macam bentuk tafsir yang lainnya hanya akan mengaburkan pengertian Kitab Suci yang benar.[21]
Akhirnya fundamentalisme kristiani tidak terbatas pada masalah tafsir KS saja. Sikap fundamentalis ini juga amat terasa di bidang dogmatis dan liturgis, khususnya dalam tradisi Katolik. Di sini yang menjadi masalah juga rumus. Dicari kepastian dan pegangan hidup dalam rumus-rumus, baik dogmatis maupun liturgis, yang tidak dapat berubah. Sikap ini berarti bahwa dicari kepastian dalam institusi Gereja dan tidak dalam iman.[22]

8. Spiritualitas teologis

Untuk menanggapi situasi demikian maka diperlukan suatu perubahan dalam berteologi. Menurut Romo Tom Jacob, fungsi teologi akan berubah; bukan pertama-tama sebagai perumus ajaran (dalam bentuk dogma atau rumus-rumus yang lain), melainkan justru dengan membuka teks-teks bagi pemahaman, dan penghayatan yang baru. Dalam hal ini kiranya dekonstruksi dari filsafat postmodern harus diperhatikan secara serius, dalam arti bahwa tradisi tidak dicari kembali tetapi diungkapkan kembali dalam bentuk yang baru dan sesuai dengan zaman. Maka iman membutuhkan teologi untuk menghindari bahwa iman jatuh ke dalam bentuk devosional (dogmatis dan berpijak pada rumusan) melulu. Teologi harus membantu orang untuk hidup antara kedua pola dari pengalaman dasar dan pengalaman sekarang, antara wahyu pertama dan pengalaman iman aktual. Teologi hendaknya menjadi suatu refleksi autokritik terhadap agama dalam mempertanggungjawabkan imannya yang adalah tanggapan manusia atas wahyu Allah.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh J.B. Metz dalam tulisannya tentang teologi politik yang berjudul The Church’s Social Function in the Light of ‘Political Theology’. Dalam tulisan tersebut, JB Metz mengatakan bahwa teologi politik adalah sebuah usaha untuk selalu merefleksikan iman akan Yesus Kristus bagi praksis pembebasan sosial di masyarakat saat ini. Dengan demikian, teologi tidak berhenti sebagai suatu hal yang normatif doktriner tetapi lebih merupakan kritik sosial yang selalu mengantisipasi atas janji ekstologis keselamatan Yesus Kristus. Dengan demikian, teologi politik juga merupakan sebuah refleksi terus menerus atas hubungan real antara iman Kristiani, gereja, agama dan juga praksis hidup sosial yang membebaskan. Janji eskatologis Yesus Kristus tentang kasih, kedamaian, keadilan dan pembebasan tidak lagi merupakan suatu kata-kata suci yang melulu berdimensi transendental tetapi juga berdimensi imanen. Meski begitu, refleksi ini bukan merupakan sebuah ideologi baru tetapi merupakan cara baru Gereja dalam memandang dan mewujudnyatakan iman akan keselamatan Kristus di tengah dunia sosial yang real.[23] Dengan demikian, teologi politik ini menjadi salah satu wujud dari spiritualitas teologis zaman ini. Singkatnya, teologi harus membantu spiritualitas zaman untuk berkembang dalam kontinuitas dan diskontinuitas, dalam rasionalitas dan irasionalitas, dalam stabilitas dan perubahan sosial.[24]

9. Paham Allah

Akhirnya, paham Allah dalam dunia postmodern lebih merupakan Allah yang real, dinamis, terlibat, komunikatif, dan memberi makna bagi kehidupan manusia. Paham Allah semacam ini amat mendesak bagi realitas zaman postmodern yang ciri dasar mentalitasnya adalah kejenuhan, kedangkalan, dan munculnya ekstrem-ekstrem fundamentalisme. Dalam situasi demikianlah iman dan agama kembali mendapat tantangannya untuk semakin bertanggungjawab terhadap dunia kehidupan. Makna agama dan iman kembali dipertanyakan, dan demikian juga makna Allah. Dengan berkembangnya kritik sosial masyarakat terhadap realitas postmodern dan perlunya sebuah tindakan komunikatif rasional dalam segala bidang, termasuk bidang iman dan agama, maka pemahaman akan Allah pun berciri komunikatif rasional serta bertanggungjawab global. Realitas pluralisme yang takterelakkan juga memberikan suatu paradigma baru dalam memahami Allah sebagai Sang Misteri Absolut yang terlibat dalam hidup manusia (transenden sekaligus imanen). Secara konkret, akhirnya paham Allah hanya dapat ditemukan dalam hati orang yang mengasihi sesamanya. Allah tidak lagi dipahami secara mitis, ontologis yang terlindung dalam selimut hangat dogma ataupun rumus-rumus filosofis teologis, tetapi lebih nyata dan real yang ditemukan dalam cinta kepada sesama ataupun ciptaan lainnya.[25]


10. Daftar Pustaka

1. Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002
2. J.B. Metz, “The Church’s Social Function in the Light of ‘Political Theology” dalam Concilium Vol. 6 No. 4 June 1968
3. Helmut Peukert, “Enlightenment and Theology as Unfinished Projects” dalam Browning, Don S –Francis Schussler Fiorenza (ed), Habermas, Modernity and Public Theology, New York: Crossroad, 1992
4. Ari Purnomo, Y, Narasi Kecil Sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern Menurut Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi, Yogyakarta: FTW, 2006
[1] Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 249
[2] Ibid, hal.249
[3] Ibid, hal. 249-250
[4] Helmut Peukert, “Enlightenment and Theology as Unfinished Projects” dalam Browning, Don S –Francis Schussler Fiorenza (ed), Habermas, Modernity and Public Theology, New York: Crossroad, 1992, hal. 43-44.
[5] Ari Purnomo, Y, Narasi Kecil Sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern Menurut Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi, Yogyakarta: FTW, 2006, hal. 12-13
[6] Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis pada sekitar tahun 1970-an, terlebih ketika Jean Francois Lyotard menulis pemikirannya tentang kondisi legitimasi era postmodern, dimana narasi-narasi besar dunia modern (seperti rasionalisme, kapitalisme, dan komunisme) tidak dapat dipertahankan lagi.
[7] Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 250
[8] Ibid, hal. 250-251
[9] Ibid, hal. 252
[10] Ibid, hal. 253
[11] Ibid, hal. 256
[12] Dalam Buku Paham Allah, Romo Tom Jacob menulis tentang asal usul fundamentalisme yang berasal dari Niagara, Amerika Serikat pada sekitar tahun 1895. Istilah fundamentalisme ini muncul bersama dengan dikeluarkannya pernyataan mengenai ‘five points of fundamentalism’ dari agama Kristiani. Pada awalnya, pernyataan ini muncul sebagai reaksi atas tafsir Kitab Suci Kristiani dengan metode historis-kritis dan terhadap teori evolusi. Pada sekitar tahun 1970-an, kata ‘fundamentalisme’ menjadi begitu umum diberlakukan bagi berbagai macam kelompok, golongan dan aliran yang ingin berpegang teguh pada ajaran dasarnya dan menolak segala bentuk tafsir ataupun aliran lain yang berusaha mengkritik ataupun merelativir ajaran dasar tersebut. Ibid, hal.256-257
[13] Ibid, hal. 257
[14] Ibid, hal. 258
[15] Ibid, hal. 259
[16] Helmut Peukert, “Enlightenment and Theology as Unfinished Projects” dalam Browning, Don S –Francis Schussler Fiorenza (ed), Habermas, Modernity and Public Theology, New York: Crossroad, 1992, hal. 55-56
[17] Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 259
[18] Ibid, hal. 260
[19] Ibid, hal. 260
[20] Ibid, hal. 260
[21] Ibid, hal. 261
[22] Ibid, hal. 262
[23] J.B. Metz, “The Church’s Social Function in the Light of ‘Political Theology” dalam Concilium Vol. 6 No. 4 June 1968, hal. 3-10
[24] Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 266
[25] Ibid, hal. 268

Kontroversi UU No.13 Tahun 2003


Pada tanggal 25 Maret 2003 disahkanlah UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan oleh DPR dan Presiden Megawati Soekarno Putri. Sebelum disahkan sebagai UU, Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut telah ditentang oleh para buruh dan serikat buruh karena pasal-pasal yang terkandung di dalamnya sungguh tidak berpihak pada buruh. UU No.13 Tahun 2003 tersebut dirasakan sebagai UU Tenaga Kerja yang lebih berpihak pada pengusaha di era pasar bebas demi pengembangan perekonomian negara. Tujuan di balik disahkannya UU tersebut adalah membuat pasar tenaga kerja di Indonesia semakin murah sehingga para investor mau mengembangkan investasinya di Indonesia. Dengan demikian, harapannya laju pertumbuhan ekonomi nasional melalui hadirnya investasi-investasi tersebut dapat dicapai dengan signifikan. Meski sebenarnya yang terjadi justru amat merugikan pihak buruh karena upah riil semakin rendah dan jaminan kesehteraannya pun tak lagi menjadi prioritas tanggungjawab para investor (pemilik perusahaan). Oleh karena UU ini dinilai masih terdapat pasal-pasal yang tidak memihak para buruh, akhirnya pada tahun 2006 UU tersebut direvisi. Revisi atas UU No.13 Tahun 2003 ini cukup kontroversial mengingat revisi tersebut justru semakin tidak menjamin keadilan bagi para buruh sebagai tenaga kerja. Dua hal krusial yang kontroversial dalam UU maupun revisinya adalah persoalan Hubungan Kerja yang menyangkut tentang kontrak kerja dan hal upah atau pesangon. Dalam hal persoalan kontrak kerja ini, pasal-pasal yang cukup kontroversial dalam revisi UU tersebut antara lain: Pasal 59 ayat (1): Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan yang pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: (a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; (b) pekerjaan yang diperkirakan-penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun; (c) pekerjaan yang bersifat musiman; (d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Kontroversi pada revisi pasal 59 ini adalah: pada ayat 1: pekerjaan yang dilakukan atas dasar jangka waktu tertentu akhirnya tidak hanya menyangkut pekerjaan tertentu tetapi dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan. Dengan demikian, perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja buruh sesuai dengan keinginan produksinya berdasarkan kontrak kerja yang mereka buat, dengan jenis pekerjaan apa saja. Tenaga kerja menjadi komoditi yang sewaktu-waktu bisa dibuang begitu saja dan mengganti dengan tenaga kerja lainnya dengan jaminan hukum yang sama. Tak ada kepastian bagi buruh untuk dapat menjadi seorang tenaga kerja tetap.
Kontroversi selanjutnya atas revisi pasal 59 ini adalah perubahan pada ayat 6 yang tertulis demikian: Dalam hal hubungan kerja diakhiri sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan karena pekerja/ buruh melanggar ketentuan di dalam perjanjian kerja maka pekerja/ buruh tidak berhak atas santunan dan pekerja/ buruh yang bersangkutan wajib membayar ganti rugi kepada pengusaha sebesar upah yang seharusnya diterima sampai berakhirnya PKWT. Amat jelas bahwa ayat ini amat menguntungkan pihak perusahaan karena membebaskan tanggungjawab perusahaan untuk memberikan pesangon bagi buruh yang terputus kontrak kerjanya karena melanggar ketentuan kontrak. Hal ini jelas merugikan pihak pekerja. Pasal ini dapat disalahgunakan oleh pihak perusahaan untuk memutus para buruhnya tanpa harus membayar upah/pesangon dari buruh tetapi justru memberatkan para buruh karena harus membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan. Apa yang dilindungi oleh pasal ini adalah demi produksi, modal, dan kepentingan pengusaha saja.
Pasal revisi selanjutnya cukup kontroversial adalah dihapusnya pasal 35 ayat 3 yang tertulis: Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Dengan dihapusnya ayat dalam pasal ini, jelas bahwa tenaga kerja tidak lagi dijamin kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisiknya. Penghapusan ini menguntungkan pihak pemberi kerja untuk lepas dari tanggungjawab moralnya terhadap perlindungan dan jaminan kesejahteraan para buruh.
Tentu masih ada beberapa pasal-pasal yang cukup kontroversial dalam revisi UU No.13 Tahun 2003 ini. Pembuatan revisi UU ini sendiri disinyalir dikerjakan oleh Bappenas, World Bank dan IMF tanpa menyertaikan Menteri Tenaga Kerja, Pimpinan Serikat Buruh dan Anggota DPR RI/D. Dengan demikian, jelas bahwa UU No.13 Tahun 2003 ini dengan setiap revisi pasal-pasalnya yang kontroversial itu dibuat demi kepentingan pengusaha para pelaku pasar bebas yang mengutamakan produksi dan pemupukan modal. Dalam hal ini, Pemerintah sebagai otoritas pembuat UU mendukung dan menjamin perkembangan investasi dari para pengusaha itu tanpa memperhatikan kesejahteraan para buruh. Dengan kata lain, melalui pasal-pasal kontroversial dalam UU serta revisinya tersebut, Pemerintah telah menjual warga negara mereka sendiri sebagai tenaga kerja murah dengan dalih perkembangan perekonomian bangsa demi pembangunan. Salah satu pembelaan Pemerintah atas jaminan kesejahteraan para buruh ini adalah melalui pemberlakuan UMR (Upah Minimum Regional) bagi para pengusaha. Pemberlakuan UMR ini pun sebenarnya justru memberikan kesempatan bagi para pengusaha untuk memainkan pasar tenaga kerja dengan memilih tenaga kerja dari daerah dengan UMR paling murah. Pemberlakuan UMR ini pun masih bersifat spekulatif karena kebutuhan dasar dan situasi pasar di suatu daerah tertentu bersifat fluktuatif (tidak tentu). Dengan pemberlakuan UMR ini, tenaga kerja dinilai setaraf dengan barang dagangan (komoditas), tentu hal ini sangat tidak adil bagi tenaga kerja yang memiliki daya tawar keahlian, ketrampilan, ataupun kekuatan dalam tingkat paling rendah (para buruh yang tidak memiliki keahlian, ketrampilan, ataupun kekuatan khusus tertentu demi produksi).
Menanggapi berbagai macam kontroversi ini, kiranya perlu ditinjau ulang dan dibuat kesepakatan baru antara para buruh, serikat pekerja, pengusaha, praktisi ekonomi, DPR, dan juga para investor dalam merumuskan revisi UU No.13 Tahun 2003 ini yang lebih adil. Dalam hal ini, pemerintah perlu tegas untuk melawan arus neo-liberal yang semakin mendegradasikan posisi buruh dalam perekonomian negara. Hal ini dapat dilakukan dengan menjamin kesejahteraan buruh dengan memperketat UU yang menyertai praktek outsourcing (hubungan kerja kontrak) atau dengan menghapus sama sekali praktek bisnis tenaga kerja model outsourcing ini. Selain itu dalam hal pemberian upah atau pesangon, perlu diperhatikan juga proporsi antara keuntungan perusahaan dengan gaji atau pesangon bagi para buruh. Dengan kata lain, nilai lebih (keuntungan perusahaan) tidak sepenuhnya masuk ke pundi-pundi pengusaha tetapi digunakan untuk meningkatkan upah buruh. Sebab hal ini juga akan meningkatkan daya beli para buruh yang berarti dapat menggerakkan sektor riil demi mengurangi kemiskinan. Harapannya, tenaga kerja dapat dihargai dengan semestinya.

Kamis, 26 Maret 2009

Kontroversi UU No.13 Tahun 2003


Pada tanggal 25 Maret 2003 disahkanlah UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan oleh DPR dan Presiden Megawati Soekarno Putri. Sebelum disahkan sebagai UU, Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut telah ditentang oleh para buruh dan serikat buruh karena pasal-pasal yang terkandung di dalamnya sungguh tidak berpihak pada buruh. UU No.13 Tahun 2003 tersebut dirasakan sebagai UU Tenaga Kerja yang lebih berpihak pada pengusaha di era pasar bebas demi pengembangan perekonomian negara. Tujuan di balik disahkannya UU tersebut adalah membuat pasar tenaga kerja di Indonesia semakin murah sehingga para investor mau mengembangkan investasinya di Indonesia. Dengan demikian, harapannya laju pertumbuhan ekonomi nasional melalui hadirnya investasi-investasi tersebut dapat dicapai dengan signifikan. Meski sebenarnya yang terjadi justru amat merugikan pihak buruh karena upah riil semakin rendah dan jaminan kesehteraannya pun tak lagi menjadi prioritas tanggungjawab para investor (pemilik perusahaan). Oleh karena UU ini dinilai masih terdapat pasal-pasal yang tidak memihak para buruh, akhirnya pada tahun 2006 UU tersebut direvisi. Revisi atas UU No.13 Tahun 2003 ini cukup kontroversial mengingat revisi tersebut justru semakin tidak menjamin keadilan bagi para buruh sebagai tenaga kerja. Dua hal krusial yang kontroversial dalam UU maupun revisinya adalah persoalan Hubungan Kerja yang menyangkut tentang kontrak kerja dan hal upah atau pesangon. Dalam hal persoalan kontrak kerja ini, pasal-pasal yang cukup kontroversial dalam revisi UU tersebut antara lain: Pasal 59 ayat (1): Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan yang pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: (a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; (b) pekerjaan yang diperkirakan-penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun; (c) pekerjaan yang bersifat musiman; (d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Kontroversi pada revisi pasal 59 ini adalah: pada ayat 1: pekerjaan yang dilakukan atas dasar jangka waktu tertentu akhirnya tidak hanya menyangkut pekerjaan tertentu tetapi dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan. Dengan demikian, perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja buruh sesuai dengan keinginan produksinya berdasarkan kontrak kerja yang mereka buat, dengan jenis pekerjaan apa saja. Tenaga kerja menjadi komoditi yang sewaktu-waktu bisa dibuang begitu saja dan mengganti dengan tenaga kerja lainnya dengan jaminan hukum yang sama. Tak ada kepastian bagi buruh untuk dapat menjadi seorang tenaga kerja tetap.
Kontroversi selanjutnya atas revisi pasal 59 ini adalah perubahan pada ayat 6 yang tertulis demikian: Dalam hal hubungan kerja diakhiri sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan karena pekerja/ buruh melanggar ketentuan di dalam perjanjian kerja maka pekerja/ buruh tidak berhak atas santunan dan pekerja/ buruh yang bersangkutan wajib membayar ganti rugi kepada pengusaha sebesar upah yang seharusnya diterima sampai berakhirnya PKWT. Amat jelas bahwa ayat ini amat menguntungkan pihak perusahaan karena membebaskan tanggungjawab perusahaan untuk memberikan pesangon bagi buruh yang terputus kontrak kerjanya karena melanggar ketentuan kontrak. Hal ini jelas merugikan pihak pekerja. Pasal ini dapat disalahgunakan oleh pihak perusahaan untuk memutus para buruhnya tanpa harus membayar upah/pesangon dari buruh tetapi justru memberatkan para buruh karena harus membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan. Apa yang dilindungi oleh pasal ini adalah demi produksi, modal, dan kepentingan pengusaha saja.
Pasal revisi selanjutnya cukup kontroversial adalah dihapusnya pasal 35 ayat 3 yang tertulis: Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Dengan dihapusnya ayat dalam pasal ini, jelas bahwa tenaga kerja tidak lagi dijamin kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisiknya. Penghapusan ini menguntungkan pihak pemberi kerja untuk lepas dari tanggungjawab moralnya terhadap perlindungan dan jaminan kesejahteraan para buruh.
Tentu masih ada beberapa pasal-pasal yang cukup kontroversial dalam revisi UU No.13 Tahun 2003 ini. Pembuatan revisi UU ini sendiri disinyalir dikerjakan oleh Bappenas, World Bank dan IMF tanpa menyertaikan Menteri Tenaga Kerja, Pimpinan Serikat Buruh dan Anggota DPR RI/D. Dengan demikian, jelas bahwa UU No.13 Tahun 2003 ini dengan setiap revisi pasal-pasalnya yang kontroversial itu dibuat demi kepentingan pengusaha para pelaku pasar bebas yang mengutamakan produksi dan pemupukan modal. Dalam hal ini, Pemerintah sebagai otoritas pembuat UU mendukung dan menjamin perkembangan investasi dari para pengusaha itu tanpa memperhatikan kesejahteraan para buruh. Dengan kata lain, melalui pasal-pasal kontroversial dalam UU serta revisinya tersebut, Pemerintah telah menjual warga negara mereka sendiri sebagai tenaga kerja murah dengan dalih perkembangan perekonomian bangsa demi pembangunan. Salah satu pembelaan Pemerintah atas jaminan kesejahteraan para buruh ini adalah melalui pemberlakuan UMR (Upah Minimum Regional) bagi para pengusaha. Pemberlakuan UMR ini pun sebenarnya justru memberikan kesempatan bagi para pengusaha untuk memainkan pasar tenaga kerja dengan memilih tenaga kerja dari daerah dengan UMR paling murah. Pemberlakuan UMR ini pun masih bersifat spekulatif karena kebutuhan dasar dan situasi pasar di suatu daerah tertentu bersifat fluktuatif (tidak tentu). Dengan pemberlakuan UMR ini, tenaga kerja dinilai setaraf dengan barang dagangan (komoditas), tentu hal ini sangat tidak adil bagi tenaga kerja yang memiliki daya tawar keahlian, ketrampilan, ataupun kekuatan dalam tingkat paling rendah (para buruh yang tidak memiliki keahlian, ketrampilan, ataupun kekuatan khusus tertentu demi produksi).
Menanggapi berbagai macam kontroversi ini, kiranya perlu ditinjau ulang dan dibuat kesepakatan baru antara para buruh, serikat pekerja, pengusaha, praktisi ekonomi, DPR, dan juga para investor dalam merumuskan revisi UU No.13 Tahun 2003 ini yang lebih adil. Dalam hal ini, pemerintah perlu tegas untuk melawan arus neo-liberal yang semakin mendegradasikan posisi buruh dalam perekonomian negara. Hal ini dapat dilakukan dengan menjamin kesejahteraan buruh dengan memperketat UU yang menyertai praktek outsourcing (hubungan kerja kontrak) atau dengan menghapus sama sekali praktek bisnis tenaga kerja model outsourcing ini. Selain itu dalam hal pemberian upah atau pesangon, perlu diperhatikan juga proporsi antara keuntungan perusahaan dengan gaji atau pesangon bagi para buruh. Dengan kata lain, nilai lebih (keuntungan perusahaan) tidak sepenuhnya masuk ke pundi-pundi pengusaha tetapi digunakan untuk meningkatkan upah buruh. Sebab hal ini juga akan meningkatkan daya beli para buruh yang berarti dapat menggerakkan sektor riil demi mengurangi kemiskinan. Harapannya, tenaga kerja dapat dihargai dengan semestinya.

Senin, 23 Maret 2009

Marilah Memilih Partai dan Caleg yang Menjunjung tinggi HAM


Pemilu Tahun 2009 tinggal beberapa minggu lagi. Dan kampanye terbuka masih bergulir. Dalam kampanye terbuka ini, setiap partai politik maupun caleg-calegnya tengah mensosialisasikan program-program yang mereka susun sebagai agenda politik bagi kemajuan bangsa ini. Berbagai model sosialisasi digunakan untuk menarik perhatian sebanyak mungkin warga agar mengenal, memahami dan akhirnya memberikan suaranya dalam pemilu nanti bagi partai politik dan para caleg itu. Meski kadang yang terjadi dalam kampanye tersebut tidak lebih sebagai ajang kompetisi antar partai dan caleg, namun diharapkan bahwa dengan adanya kampanye tersebut, terjadilah semacam diskursus gagasan, action plan, dan sebuah kontrak politik yang bertujuan untuk membangun bangsa ini di dalam situasi sosial kontemporer masyarakat bangsa Indonesia saat ini.
Pada pemilu tahun 2009 ini terdapat 44 partai politik peserta pemilu. Jumlah partai politik yang mencapai 44 ini tentu amat mencengangkan bagi sebagian orang yang tidak mengerti banyak tentang dunia politik. Bagi mereka, jumlah partai hingga 44 ini mungkin menampakkan adanya harapan tentang penghargaan terhadap keanekaragaman visi dan misi politik serta menjadi tanda akan naiknya tingkat keterlibatan setiap warga dalam dunia politik Indonesia, namun di sisi lain juga memunculkan semacam kecurigaan tentang realitas politik Indonesia pasca Reformasi yang tengah larut dalam eforia demokrasi model kompetisi. Kedua hal ini sangat positif bagi perkembangan kedewasaan demokrasi Indonesia selanjutnya, meski juga menyisakan sebuah pemikiran lebih lanjut tentang konsolidasi nasionalisme yang lebih signifikan. Mengapa harus dengan banyak partai jika setiap warga telah memiliki ‘kesaling pengertian’ tentang cita-cita nasionalisme yang sama demi bonnum communae Indonesia? Apakah tidak mungkin bahwa di balik banyaknya partai politik dengan berbagai macam haluan ideologis dalam visi misi mereka itu terdapat kenyataan bahwa kekuasaan di Indonesia merupakan hal yang prinsipiil untuk diperebutkan demi kepentingan golongan tertentu. Jika memang demikian adanya, tentu hal ini justru akan semakin mempersulit proses pencapaian bonnum communae itu, disamping juga justru membingungkan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi politiknya dalam pemilu.
Menyikapi banyaknya tawaran agenda politik yang diusung oleh para partai politik dan caleg-caleg itu, saya ingin mengusulkan kriteria-kriteria yang mungkin bagi para pemilih semuanya berkaitan dengan tanggungjawab sosial yang mesti mereka berikan dalam pemilu. Kriteria-kriteria yang saya usulkan ini merupakan sebuah pandangan yang bisa digunakan untuk menentukan pilihan kepada siapa dan partai apa suara kita hendak kita berikan berkaitan dengan tanggungjawab sosial demi bonnum communae. Kriteria-kriteria berikut hendaknya dimiliki oleh para partai dan para caleg yang kepada merekalah suara kita baik untuk diberikan. Memang kriteria-kriteria berikut ini amat idealis, akan tetapi paling tidak dengan mendasarkan pilihan kita pada kriteria-kriteria berikut, kita (paling tidak saya) telah memberikan tanggung jawab etis moral sebagai warga negara yang turut terlibat dalam kemajuan bangsa. Pertama-tama, saya mengajak kita semua untuk MEMILIH PARTAI DAN CALEG YANG MENJUNJUNG TINGGI HAM. Atau paling tidak memilih caleg dan partai yang paling sedikit bias kepentingan golongannya sendiri demi Menjunjung tinggi HAM universal. Lebih lanjut, partai politik dan caleg yang dapat kita pilih adalah:

  1. Partai politik dan caleg yang dengan tulus serta konsisten peka terhadap persoalan-persoalan seputar menjunjung tinggi HAM di Indonesia seperti misalnya: penanganan kasus penggusuran kaki-lima dan gelandangan, perlindungan terhadap para aktivis HAM seperti Munir dkk, memperhatikan korban bencana seperti Lumpur Lapindo, pendidikan berkelanjutan bagi rakyat miskin (dengan beasiswa misalnya), menangani kasus kekurangan gizi bagi anak-anak dengan program konkret dan berkesinambungan, memberi perhatian bagi para TKI, menggiatkan LSM-LSM yang memperhatikan tentang HAM seperti: penanganan kasus trafficking, kaum buruh, PRT, dan ancaman ekses buruk dari globalisasi.
  2. Partai politik dan caleg yang dengan tulus serta konsisten untuk bersikap tegas terhadap pemberantasan korupsi, menindak tegas secara hukum terhadap para spekulan-spekulan yang mengabdi secara total terhadap kapitalisme global, dan juga menertibkan para konglomerat yang tidak taat pajak.
  3. Partai politik dan caleg yang dengan tulus serta konsisten berusaha untuk menekankan efisiensi serta efektivitas energi/Sumber Daya Alam. Dalam hal ini, kepentingan partai mengarah pada usaha untuk menindak tegas para pengusaha/investor yang melakukan produksi dengan mengeksploitasi lingkungan alam dan sumber dayanya demi capital, sebagai contoh misalnya: illegal logging.
  4. Partai politik dan caleg yang dengan tulus, konsisten dan berani untuk menghentikan proyek-proyek pemerintah yang tidak memperhatikan keseimbangan ekologis serta jaminan masa depan warganya, yakni seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang jelas-jelas memiliki efek buruk ke masa depan. Hal ini juga terjadi pada pertambangan yang cenderung eksploitatif seperti tambang mineral, air minum, dan pasir di Merapi.
  5. Partai politik dan caleg yang dengan tulus, konsisten dan mau ‘berkotor tangan’ untuk memelihara budaya-budaya lokal berikut local wisdom yang telah ada.
  6. Partai politik dan caleg yang berjiwa nasionalis Indonesia, memiliki penghargaan terhadap sejarah bangsa, perjuangan para pahlawan, terbuka terhadap realitas pluralisme Indonesia dan bernalar dialogis. Hal ini didukung oleh suatu sikap menjunjung tinggi etika politik dengan kesadaran bahwa political action pertama-tama adalah demi bonum communae (kesejahteraan bangsa) dan bukan demi kepentingan golongan atau kepentingan partai/individu.
  7. Parta politik dan caleg yang mampu bersikap kritis terhadap kekuasaan. Kekuasaan bukan pertama-tama sebagai tujuan dari political action/political decision, tetapi lebih sebagai sarana pengabdian demi bonum communae dan menjunjung tinggi harkat martabat segenap warga.
  8. Partai politik dan caleg yang berkomitmen untuk menjamin terciptanya hukum yang adil berdasarkan rasionalitas komunikatif dimana warga dipandang sebagai sesama subjek. Dengan demikian, proses politik adalah relasi inter-subjektif yang didasari oleh penghargaan atas kemerdekaan pribadi serta rekonsiliasi terus menerus (social reconciliation as unfinished political project).
  9. Akhirnya, kita bisa memilih partai politik dan caleg yang berkomitmen untuk terus menerus mengusahakan proses internalisasi nilai-nilai dan falsafah Pancasila sebagai dasar dari setiap political action di Indonesia sesuai dengan konteks sosial yang ada. Komitmen ini didukung dengan sikap beriman yang rasional dan kritis dalam rangka mempertanggungjawabkan kepercayaan warga yang telah mewakilkan suaranya pada partai politik serta caleg itu.

Majulah Indonesiaku. Kau kucinta dalam setiap detak nadiku.

Salam,
yohanes ari purnomo

Kamis, 12 Maret 2009

Anak Kolong: Nasionalis?


Menelusuri jejak Nasionalisme dalam Novel Burung-burung Manyar karangan Romo YB. Mangunwijaya, Pr

Membaca kembali novel Burung-burung Manyar karangan Romo Mangunwijaya benar-benar mengaduk-aduk emosi dan rasio saya. Benar-benar sebuah novel yang sentimentil dan kompleks. Di dalam novel itu, persoalan-persoalan seputar filsafat manusia, esensi tanah air, makna pahlawan, dan realitas kemerdekaan dimunculkan dan digugat (demi sebuah penelurusan ke arah refleksi yang lebih dalam). Menjelma dalam sosok Teto (Setadewa)1, pemikiran Romo Mangun yang kritis terhadap hal-hal yang disebut diatas dirangkai dalam narasi ringan nan berbobot. Disertai dengan butir-butir refleksi kearifan yang mendalam tentang makna realitas kehidupan, Romo Mangun menampilkan kembali kompleksitas manusia berkaitan dengan relasi sosial, kultural dan politik dalam bingkai sejarah terlahirnya bangsa (negara?) Indonesia. Mengambil setting sejarah Indonesia zaman kemerdekaan (di sini pula Romo Mangun bermaksud melempar perdebatan apa sesungguhnya arti kemerdekaan), beliau menuangkan pergulatan idealisme tentang kemanusiaan secara utuh dalam suatu percaturan sistem sosial yang terus bergulir dengan bermacam dinamikanya. Teto, yang adalah seorang anak Kapitein KNIL Jawa tulen dan seorang noni totok Belanda, menjadi tokoh utama. Pemilihan identitas tokoh utama sebagai seorang Indo ini merupakan titik awal pergulatannya tentang realitas manusia di tengah-tengah ‘panggilan’nya menjadi seorang warga suatu nasion (bangsa) tertentu. Identitas Indo ini dinilai menjadi perpaduan antara Jawa dan Belanda yang akhirnya memunculkan begitu banyak persoalan tentang apa artinya menjadi seorang manusia yang melampaui batas-batas ‘ikatan nasional tertentu’. Atau dengan bahasa negatif, tokoh Teto ditampilkan sebagai seorang tokoh yang mengalami kegamangan identitas sebagai suatu warga bangsa tertentu. Ia adalah orang Jawa sekaligus Belanda, atau bukan Belanda dan bukan Jawa. Teto, dari dirinya sendiri telah mengandung kontroversi.

Pergulatan tokoh Teto dalam menemukan jatidiri mengalir dalam peristiwa-peristiwa pahit yang dialaminya seputar zaman kemerdekaan Indonesia. Meski akhirnya ia memilih memihak Belanda namun motivasi ini bukan didasari oleh keyakinan bahwa pihak Belanda lebih benar daripada pihak Republik tetapi lebih pada motivasi manusiawi dalam menemukan kemerdekaan yang sesungguhnya. Sosok ayahnya menjadi inspirasi yang mendasari pilihan sikapnya itu. Kemerdekaan tidak terletak dalam keikutsertaannya dalam suatu pihak yang disebut sebagai kebenaran tetapi lebih pada keberanian untuk memilih. Meski akhirnya ia menyadari bahwa pilihannya ‘mungkin’ keliru dan ia harus melepaskan cintanya kepada Larasati, Teto tetap berdiri tegak sebagai seorang pribadi yang merdeka, sebagai pribadi yang mengatasi kungkungan idealisme tentang ‘nasional’. Jelas sekali disini Romo Mangun hendak mengatakan bahwa manusia itu nilainya lebih tinggi dari sekedar slogan ‘pribadi nasionalis’ yang lantas dielu-elukan sebagai seorang ‘pahlawan’. Bagi Teto, Belanda, Republik atau Jepang itu tak ada artinya jika manusia tetap saja mengalami keterasingan dan ketertindasan. Ini disadarinya kelak ketika akhirnya ia tahu bahwa motivasinya untuk memihak Belanda ini didasari oleh rasa dendamnya kepada ‘Jepang’ yang telah merenggut kehidupannya dengan menangkap ayahnya dan membuat maminya menjadi gundik perwira Jepang. Ia juga akhirnya kelak sadar bahwa pilihannya untuk memusuhi Republik yang dianggapnya menjilat Jepang demi kemerdekaan ‘elit-elit’ tertentu seperti Sukarno dan teman-temannya itu merupakan pilihan yang gegabah. Ia sadar bahwa ia terlalu men-generalisir apa itu yang disebut sebagai Jepang dan Republik, demikian juga dengan Belanda (NICA). Musuh Teto sebenarnya bukanlah Jepang atau Republik tetapi kelaliman yang menyebabkan keluarganya menderita. Ini tampak dalam dalam penggalan berikut: ‘Kesalahan Teto hanyalah, mengapa soal keluarga dan pribadi ditempatkan langsung di bawah sepatu lars politik dan militer. Kesalahan Teto hanyalah, ia lupa bahwa yang disebut penguasa Jepang atau pihak Belanda atau bangsa Indonesia dan sebagainya itu baru istilah gagasan abstraksi yang masih membutuhkan konkretisasi darah dan daging. Siapa bangsa Jepang? Oleh huruf-huruf hitam mati di koran memang disebut bangsa Belanda, kaum kolaborator Jepang dan sebagainya. Tetapi siapa bangsa atau kaum ini itu, bila itu dikonkritkan? Bila itu dipribadikan? Bila menghadapi Paijo atau Suminah, Willem van Dyck atau Koosye de Bruyn? ‘(Burung-burung Manyar, hal.136). Dari penggalan ini tampak jelas pergulatan Romo Mangun (lewat Teto) tentang memahami secara lebih dalam apa artinya sebuah ‘nasion’ (bangsa). Dengan nada ‘miris’ refleksi kesadaran Teto tentang abstraksi sebuah bangsa ini berlanjut demikian: ‘Yang menodai Bu Kapten (Mami Teto) bukan bangsa Jepang tetapi Ono atau Harashima. Dan karena kelaliman Ono atau Harashimalah seluruh bangsa Jepang dan kaum republik yang dulu memuja-muja Jepang dikejar-kejar. Pak Lurah dan Mbok Sawitri yang mengepalai dapur umum di desa, serta Pak Trunya yang dulu menolong Pak Antana tidak ikut-ikutan dengan kekejian Ono. Tetapi kesalahan semacam itu apalah artinya bagi Larasati. Teto tetap Teto, dan bukan ‘pihak KNIL’. (Burung-Burung Manyar, hal.136).

Kesadaran Teto bahwa pilihannya untuk memusuhi kaum republik dan sikap memihaknya terhadap Belanda ‘mungkin’ keliru ini telah terlambat. Meski demikian ia tidak pernah menyesal dengan pilihannya itu. Ia sadar, pilihannya yang mungkin keliru ini telah benar-benar menghancurkan impian-impiannya. Dunia politik dan militer yang mengatasnamakan ‘demi sebuah bangsa’ ini telah membuat hancur keluarga dan cintanya kepada Atik. Mereka berdua adalah korban dari kekejian ‘bangsa-bangsa’ yang saling bertikai. Mereka benar-benar gamang akan identitas mereka sebagai ‘pahlawan’ atau ‘pengkhianat’. Atas nama ‘bangsa’, kemanusiaan lantas dipinggirkan sedemikian rupa. Dan anehnya, Teto tidak menghakimi siapa yang salah dan siapa yang benar, ia hanya memerangi kelaliman. Meski untuk itu, ia harus mengalami berbagai macam kepahitan akibat dari sebuah perang ‘konyol’ akibat kolonialisme, imperialisme dan semacamnya, entah dari pihak otoritas Belanda, Jepang ataupun republik. Sedemikian kejamkah politik itu?

Pemihakkannya pada kemanusiaan ini pulalah yang selalu mengobarkan semangat Teto untuk tidak menyerah pada nasib. Meski dapat dibilang bahwa hidupnya berakhir tragis namun ia telah memperoleh banyak hal dari pergulatannya menghadapi kegetiran itu. Salah satu kesadaran yang mulai ia bangun di awal senja usianya adalah kesadarannya tentang Tanah Air yang sebenarnya. Sebenarnya kesadaran ini muncul berkat pertemuannya dengan seorang sersan mayor MP (polisi militer) di kerkop Magelang. Akhirnya ia menyadari bahwa Tanah air ada di sana, dimana ada cinta dan kedekatan hati, dimana tidak ada manusia menginjak manusia lain (Burung-burung Manyar, hal.186). Kesadaran ini menjadi akhir dari pergulatannya mengenai identitas dirinya yang serba gamang: ‘Sungguh kuli dan babu bangsa ini. Dan lebih lagi kau, Teto. Ya itu benar. Sudah lama aku sadar, bahwa sikapku yang begini ini sebetulnya ekspresi maksimal dari kekulian bangsaku. Bangsaku? Bukankah kau Teto, kau selalu mengujar terhadap sang Ambasador, kau berkebangsaan multi-nasional? Aku tidak bohong. Mamiku Indo dan aku, aku bekas KNIL’ (Burung-burung Manyar, hal.186). Pilihan sikapnya yang jelas untuk selalu memihak kemanusiaan yang ‘melampaui nasional’ ini akhirnya menjadi medan perjuangannya yang baru sebagai seorang manusia yang telah ditempa oleh sekian banyak pengalaman pahit akibat perang. Dengan gagah, Teto akhirnya menjadi manajer sebuah perusahaan minyak asing. Ia berani mengungkap segala kelaliman perusahaan itu yang telah merugikan Indonesia sekian milyar per tahun. Sebagaimana ‘burung manyar’, Teto mulai melolosi dan merombak sesuatu yang dinilainya gagal dan merajut lagi ‘sarang manyar’ yang baru: ‘Aku dulu masuk KNIL tidak untuk mencari gaji soldadu. Bukan juga demi petualangan tentara sewaan belaka. Aku memerangi kalian sebagai pembalas dendam ibuku, yang mengandungku dan yang dirusak kandungannya oleh Jepang. Memang kesalahanku ada pada identifikasi Jepang dengan Republik Indonesia. Tetapi maaf, terus terang kukatakan, bukankah banyak dari pimpinan pihak kalian bukan hanya murid, tetapi penerus konsekuen mental Jepang itu? Selama aku menjadi manajer perusahaan sesudah perang, aku baru mengenal segi-segi lain dari Jepang yang lebih positif. Tetapi dalam saat kala itu Jepang diperkenalkan pada kita dalam bentuknya yang fasis. Memang aku keliru dalam memilih sasaran, akan tetapi tidak dalam motivasi. Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta model-modelnya pada negeri ini; ya negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer. Dan inilah saat perhitunganku. Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran. Sekarang tidak’ (Burung-burung Manyar, hal.245).

Tulisan ini tentu hanya merupakan sebagian kecil refleksi tentang salah satu aspek pemikiran Romo Mangun tentang manusia, masyarakat, nasionalisme, budaya dan hal-hal lain dalam novel Burung-burung Manyar. Masih ada begitu banyak nilai dan falsafah hidup yang dapat dipetik dari gambaran kisah maupun tokoh-tokoh yang bergulat di dalamnya. Tak lupa pula tentang peran data, fakta serta lokasi sejarah tertentu yang ditampilkan dalam novelnya. Tentu itu semua memiliki pesan tertentu yang hendak disampaikan oleh Romo Mangun ataupun oleh otonomi teks itu sendiri. Harapannya, dari cerita itu semoga kita semua dapat belajar untuk semakin menjadi pribadi yang merdeka, mampu belajar dari banyak hal, pejuang kemanusiaan demi ‘tanah air sejati’ yang konsekuen, seperti anak-anak kolong yang tak peduli apakah dirinya nasionalis atau multi-nasionalis.

1 Romo Mangun mengambil nama Setadewa dari simbolisasi tokoh wayang Baladewa yang ketika perang Bharatayuda pecah, ia berada di pihak Kurawa meski kecintaannya pada para Pandawa tidaklah pernah berhenti berpijar.

Indonesia and Transnational Terrorism


by Chris Wilson Foreign Affairs, Defence and Trade Group 11 October 2001

Introduction
In the wake of the 11 September attacks on the United States, attention has turned to Indonesia, and the possibility of Islamic terrorist groups operating from or within that country. Indonesia has experienced a resurgence of Islamic activity since the fall of President Soeharto in 1998, but the vast majority of Indonesian Muslims practice a moderate form of the religion. Indonesia is the world's largest Islamic country, with 170 to 180 million Muslims out of a total population of around 215 million.(1) Although most Indonesians are concerned with the response of the United States to the terrorist attacks, the vast majority do not as yet support militancy. However, some Islamist organisations have become increasingly vocal in the weeks since the attacks. In addition, a number of reports have pointed to connections between these groups and transnational terrorist networks such as Al Qaeda, the organisation headed by Osama bin Laden. Rohan Gunaratna from the St Andrew's University Centre for the Study of Terrorism and Political Violence has stated recently that the Al Qaeda network has a number of cells active in Indonesia.(2)

Indonesian Islamist Organisations
There is no organised hierarchy of radical Islam in Indonesia, rather a number of largely unrelated groups. The main extremist Islamist organisations in Indonesia are Darul Islam, the Islamic Defender's Front and Laskar Jihad.(3) According to Al Chaidar, an Islamic activist and leader of one of eight factions of the Darul Islam network, the organisation is largely constituted by the approximately 15 000 Indonesians who returned from Afghanistan after fighting alongside the mujahadeen against the Soviet Union.(4)

Laskar Jihad is the most prominent and organised of Indonesia's radical Islamist organisations. In 2000, Laskar Jihad sent around 5000 armed militia members to the Maluku region in eastern Indonesia, where they are considered to be the main reason for continuing conflict there.(5) The government in Jakarta has been criticised for not preventing the activities of the organisation, some analysts suggesting the government is restricted in it's possible response, not wishing to appear 'anti-Islamic'.(6) The prospect of US retaliation for the terrorist attacks has boosted Laskar Jihad membership, with 300-400 joining since 11 September.(7) Laskar Jihad's popularity rests on more than its ability to support Muslims in conflicts, such as that in Maluku, the organisation also providing a strong sense of Islamic identity. Families of the young men fighting in Maluku also receive remuneration, funded by such activities as garment exports.(8) The country's ongoing economic crisis makes such organisations more appealing.

What Kind of Threat do Indonesian Islamist Organisations Pose?
Indonesia's top Islamic authority, the Council of Indonesian Ulemas followed President Megawati's meeting with President Bush (on 19 September) by calling for Muslims to unite and join a jihad (holy war) against the United States in the event of attacks against Afghanistan.(9) Similar threats have also been made by Laskar Jihad, Laskar Jundullah and the Islamic Defender's Front.(10) Some of these claims have since been moderated. Ulema Council spokesperson, Dien Syamsuddin, when asked if warnings of a jihad meant armed struggle, said that the term may mean any number of forms of struggle (including peaceful), and condemned plans to 'sweep' (locate and evict) US citizens in Indonesia. However, the impact of calls for a jihad must have been relatively predictable, the public likely to perceive the term in the literal sense of armed struggle.(11)

However, daily demonstrations are taking place in front of the US Embassy, one protest involving 4000 people on 28 September, and another on 8 October involving over a thousand members of a number of different organisations including the Islamic Defenders Front.(12) These demonstrations have been largely peaceful although Indonesian police fired warning shots to disperse protestors on 8 September,(13) and shouted threats outside the Embassy caused the US Ambassador, Robert Gelbard, to pressure the police for a plan to evacuate diplomatic staff. On 23 September, members of several Islamist groups calling themselves the Anti-American Terrorist Soldiers worked through the town of Surakarta in Central Jakarta searching for Americans to evict, although there are no cases of violence reported as yet.(14) Two powerful explosions were detonated in the busy Plaza Atrium Senen shopping mall in Central Jakarta on 23 September, although they have not as yet been linked to the 'war on terrorism'.

However, radical Islamist organisations and anti-American protests do not currently enjoy the support of the majority of the population. The vast majority of Indonesians practise a moderate form of Islam, excluding practices such as the veiling of women. This moderate position has been expressed by some Islamic leaders. Syafi'i Maarif, the chairman of Indonesia's second largest Islamic organisation, Muhammadiyah, said Indonesian Muslims should focus on the problems of the Afghan people, rather than attacking US citizens.(15)

Nonetheless, now that United States (and United Kingdom) missile strikes against Afghanistan have occurred, demonstrations across Java and elsewhere may become more widespread, greater in size and violent. Involvement in radical organisations may become more widespread if grievances against the US strikes combine with the perceived benefits of joining such organisations, and possible coercion on the part of the organisations. If the threats of the Islamist organisations discussed above are carried out following these attacks, the consequences could include a possible evacuation of foreign diplomatic and commercial staff, and a flight of tourists and investment. Some of these consequences have eventuated already. On 9 October, the Australian Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) issued a warning against travel to Indonesia. Non-essential staff of the US Embassy in Jakarta were withdrawn on 27 September, and the families of the staff of some American companies, such as Nike, have been evacuated.(16)

One of the major dangers posed by Indonesian radical Islamist groups may be to the Indonesian Government itself. While she was in the United States, President Soekarnoputri pledged Indonesian support to the US lead coalition against terrorism, receiving in turn from President Bush pledges of aid and loan guarantees.(17) In supporting the US lead war on terrorism, the government of Megawati Soekarnoputri may face difficulties fending off challenges from the Islamic parties in her coalition, who in turn will be pressured by Islamist sentiment. President Soekarnoputri has already been criticised in political circles. House Speaker Akbar Tandjung stated that she should be more critical of the US led attacks.(18) Concerns within the Indonesian Government have also become evident, with Vice President Hamzah Haz cautioning the United States against attacking a sovereign country with the aim of targeting terrorists. It is also possible that radical Islam may be aggravated and manipulated by those wishing to destabilise Megawati.

What is the Presence of Al Qaeda and Other Transnational Extremist Organisations?
For the past two years, the United States has warned that increasing Islamic militancy in Southeast Asia was creating a large pool of potential recruits for transnational terrorist networks. The United States Embassy in Jakarta had been on high alert since August after receiving intelligence from Europe of bomb threats and surveillance of the US Ambassador to Indonesia by Sudanese nationals linked to the Al Qaeda network.(19) According to Umar Juoro, an economist with the Habibie Centre, while the known radical Islamist organisations within Indonesia are manageable, the real problem lies with the activities of groups that are as yet not clearly identified.
Connections between the Islamist groups discussed above and transnational terrorist organisations or networks are often claimed but generally not corroborated. It was reported on 27 September that seven Afghan nationals flew into Ambon (Maluku) to a welcome from local police and the Laskar Jihad.(20) The Indonesian Director of Immigration, Muhammad Indra, has agreed it is likely that members of Afghan militias are entering Indonesia illegally.(21) On 27 September a Muslim activist and writer claimed that an envoy of Osama bin Laden had visited Indonesia at least four times, and that the radical Darul Islam movement and Al Qaeda enjoy a 'special relationship'.(22)

Indonesian students have long studied in the Islamic religious schools of Pakistan and elsewhere, and reports suggest growing numbers are being exposed to the same radical teachings as the Taliban. Throughout the 1990's the US Central Intelligence Agency (CIA) monitored 700-1500 Indonesian students travelling to the Middle East and suggests that 30-40 per cent never arrived at their stated destination. It is thought many of these joined the Taliban in the Afghanistan civil war.(23)

However, many of the Indonesian Islamist organisations deny involvement with Al Qaeda. While the leader of the Laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib, fought alongside the Mujahadeen in Afghanistan in the 1980's and met Osama bin Laden, he has stated that he has little respect for the Saudi terrorist.(24) According to Thalib, the Al Qaeda organisation approached the Laskar Jihad, but he had declined to become involved with the organisation. He also denied that there were any Afghan Mujahadeen in Maluku.(25) Ja'far does however support the attack on the United States, saying, 'it should be an important lesson for America.' Another Islamist organisation with supposed links to bin Laden, Majelis Mujahidin, also denies such links.(26) The Chairman of the Indonesian Ulemas Council, Nazri Adlani has described as 'slanderous', international reports that Indonesian Islamist organisations have become involved in global terrorist networks.(27)

There are also official claims of links between Indonesian groups and Southeast Asian terrorist and/or separatist organisations, although independent evidence for these is also largely inadequate. In August, Indonesian police arrested a Malaysian national following a bombing in the Atrium Plaza, and two others for bombings in churches throughout Indonesia.(28) Last year the Philippines Ambassador was injured in a bombing, and the Malaysian Embassy was attacked with a grenade. Carlyle Thayer, an expert on Southeast Asian security, has stated that there are groups of armed militia members that move around the region.(29) Ja'far Umar Thalib has stated the Laskar Jihad does have links to the Malaysian Kumpulan Mujahadeen Malaysia (KMM) Islamist organisation. Intelligence reports suggest these Southeast Asian groups may be linked to international terrorist networks. The suspected hijackers of the 11 September attacks were, according to US intelligence, sighted in the Philippines and Kuala Lumpur.

Conclusion
The impact on Indonesia of the terrorist attacks on the US and the US reaction and increasingly active local Islamist organisations is likely to be continued sporadic outbursts of protest and occasional violence. The relatively porous nature of Indonesian national borders and the weakness of the Indonesian Government in detecting terrorists, means that Indonesia may well serve as either a transit point or a sanctuary for international terrorists. However, the Indonesian Government has a narrow path to tread in protecting Indonesia from terrorist activity and ensuring the country is not used by terrorist networks as a sanctuary, and preventing the spillover of radicalism from Islamist organisations to moderate Indonesian Muslims.

Endnotes
T. Dodd, 'Megawati faces Muslim backlash', Australian Financial Review, 20 September 2001.
'International Terrorism: Where to From Here?', Vital Issues Seminar, Department of the Parliamentary Library, Parliament House, Canberra, 26 September 2001.
I am not considering the Free Aceh (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) organisation as a terrorist group in this discussion, as this group is in armed struggle with the Indonesian security forces.
'Osama envoy made several trips to Indonesia: Activist', The Straits Times, 27 September 2001.
See 'Indonesia: Overcoming Murder and Chaos in Maluku', International Crisis Group Report, no. 10, 19 December 2000. The Maluku conflict has been particularly bloody, with estimates of casualties since 1999 from 6000 to 9000, and the creation of hundreds of thousands of refugees.
J. Solomon & R. Hindryati, 'Indonesian Radicals Rally in Support of bin Laden-Western Agencies Suspect Organizational Ties', The Asian Wall Street Journal, 21 September 2001.
T. Dodd, 'Megawati risks Muslim rage', Australian Financial Review, 29 September 2001.
ibid.
'Indonesian clerics warn of jihad', CNN.com, 25 September 2001.
T. Dodd, 'Megawati faces Muslim backlash', op. cit.
Personal communication with Dr Greg Fealy, Australian National University, and T. Dodd, 'Megawati risks Muslim rage', ibid.
D. Harsanto & H. Abu, 'Militant groups rally outside US embassy against attacks on Afghanistan', The Jakarta Post, 9 October 2001.
'Indonesian protests turn violent', BBC Online, 9 October 2001.
'Terrorists Operate Freely in Surakarta', The Jakarta Post, 24 September 2001.
'Top Muslim leaders stress aid, not violence', The Jakarta Post, 2 October 2001.
'Mega slams radicals for anti-US threats', The Straits Times, 3 October 2001.
T. Mapes, 'Indonesia's US Ties Stir Militant Opposition-Groups Threaten to Attack American Interests', The Asian Wall Street Journal, 25 September 2001.
'RI expresses concern, urges US to limit strikes', The Jakarta Post, 9 October 2001.
J. McBeth, 'The Danger Within', Far Eastern Economic Review, 27 September, 2001, p. 20.
ibid.
T. Dodd, 'Megawati faces Muslim Backlash', op. cit.
L. Murdoch, 'Bin Laden 'funded Christian-haters', Sydney Morning Herald, 28 September 2001.
Many Indonesians are also thought to have joined the Mujahadeen struggle against the Soviet Union, see 'Waiting for Osama's Blessing', Tempo, no. 03/11, 25 September 2001.
Thalib has stated that bin Laden struck him as a jetsetter when he met him in Pakistan in 1987 during the Mujahadeen struggle against the Soviet Union, and has taken a vastly different interpretation of Islam to the Laskar Jihad, see R. C. Paddock, 'Indonesian Extremist Backs Terror Southeast Asia', Los Angeles Times, 23 September 2001.
Harold Crouch of the International Crisis Group is quoted as questioning reports of mujahadeen in the Malukus due to the lack of casualties with Middle Eastern appearance, see S. Mydans, 'Militant Islam Unsettles Indonesia And Its Region', New York Times, 21 September 2001.
'Waiting for Osama's Blessing', Tempo, no. 03/11, 25 September-1 October 2001.
'No global terrorist link in RI', Jakarta Post, 22 September 2001.
Dr Greg Fealy of the Australian National University urges caution when assessing these claims of guilt, as the Indonesian Police have been known to frame suspects in the past and little motive has yet been produced for the attacks, personal communication.
S. Mydans, 'Militant Islam Unsettles Indonesia And Its Region', op. cit.

Comments to: web.library@aph.gov.auLast reviewed 27 September 2001 by the Parliamentary Library Web Manager© Commonwealth of AustraliaParliament of Australia Web Site Privacy Statement Images courtesy of AUSPIC