Rabu, 01 April 2009

Paham Allah dalam era Postmodern

1. Pengantar

Dalam bagian bukunya yang berjudul Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-agama, dan Teologi, Romo Tom Jacob SJ mengulas tema tentang paham Allah dalam realitas postmodern. Menurut Romo Tom Jacob, postmodern pertama-tama dipahami bukan sebagai kritik agama tetapi sebagai kritik kebudayaan.[1] Meski pertama-tama sebagai kritik kebudayaan, realitas postmodernisme akhirnya juga mengkritik peran, posisi, dan realitas agama sebagai bagian dari kebudayaan dan sejarah peradaban manusia. Kritik terhadap agama ini akhirnya juga membawa kritik lebih lanjut terhadap spiritualitas, teologi dan paham Allah.[2] Era postmodern akhirnya memunculkan berbagai macam pertanyaan mendasar berkaitan dengan agama dan paham Allah yang cukup krusial bagi kehidupan manusia. Bagaimana Allah dialami dan dipahami di era postmodern ini? Apakah peran agama yang di dalamnya terkandung pemaknaan akan Allah bagi kehidupan sehari-hari manusia masa kini? Bagaimana iman dan wahyu dipahami dan dihayati dalam konteks dinamika hidup masyarakat postmodern? Beberapa pertanyaan berikut menunjukkan adanya proses kontinuitas refleksi peradaban manusia atas segala sesuatu yang dialaminya di dunia ini, termasuk ketika berhadapan dengan munculnya arus pemikiran/mentalitas postmodern.
Sebelum kita memasuki pendalaman lebih lanjut mengenai kritik terhadap kebudayaan, agama, dan paham Allah oleh postmodernisme, kita akan menelusuri satu persatu gagasan Romo Tom Jacob mengenai hal itu. Pertama-tama kita perlu memahami realitas postmodern sebagai kritik kebudayaan, realitas sosial, dan sebagai sebuah fenomen cara berpikir maupun bertindak dari masyarakat pasca Enlightenment. Setelah itu, satu persatu akan dibahas mengenai: postmodernisme dan agama, sekularisme, fundamentalisme, peranan teologi moral, fundamentalisme kristiani, spiritualitas teologis, dan akhirnya paham Allah dalam era postmodern.

2. Apa itu Postmodernisme?

Untuk memahami postmodernisme, pertama-tama kita harus mengerti apa itu ‘modern’. Dalam sub bab yang bertemakan postmodernisme, Romo Tom Jacob mengartikan ‘modern’ sebagai: (1) terbaru, mutakhir; (2) sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.[3] Dengan demikian, dunia sekarang ini masih termasuk dalam arti ‘modern’ itu. Dunia ‘modern’ ini diawali dengan adanya periode Enlightenment dimana manusia mulai melangkah untuk membebaskan dirinya dari kebutaan mereka, membebaskan diri dari batas pre-reflektif dengan alam dan untuk menjadi lebih sadar tentang kondisi eksistensi mereka sendiri, dan dengan bantuan kesadaran reflektif-ambil jarak untuk memimpin hidup mereka dengan penuh kemerdekaan.[4] Dengan demikian modernitas ditandai dengan bangkitnya kesadaran akal budi manusia yang mulai mendapat peran sentral dalam seluruh dinamika hidup manusia.
Kata ‘postmodern’ sendiri muncul sebagai bagian dari modernitas. Kata ‘post’ dalam ‘postmodern’ tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal ‘modern’. Konsep ‘postmodernitas’ yang sering disingkat sebagai ‘postmodern’ ini merupakan sebuah kritik atas realitas ‘modernitas’ yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek Pencerahannya.
Pertama-tama, kata ‘postmodern’ tidak muncul dalam filsafat ataupun sosiologi. Kata/wacana ‘postmodern’ ini muncul dalam arsitektur dan kemudian juga dalam sastra. Arsitektur dan sastra ‘postmodern’ lebih bernafaskan kritik terhadap arsitektur dan sastra ‘modern’ yang dipandang sebagai arsitektur totaliter, mekanis dan kurang human. Akhirnya kritik terhadap seni arsitektur dan sastra modern ini menjadi kritik terhadap kebudayaan modern pada umumnya yang dikenal sebagai era postmodern. Nafas utama dari postmodern adalah penolakan atas narasi-narasi besar yang muncul pada dunia modern dengan ketunggalan terhadap pengagungan akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar, dan beranekaragam untuk bersuara dan menampakkan dirinya. Menurut para pemikir postmodern, modernitas itu ditandai dengan sifat totaliternya akal budi manusia yang menciptakan sistem-sistem seperti sistem ekonomi, sosial, politik, dsb. Sistem-sistem itu akhirnya memenjarakan manusia sendiri sebagai budak dari sistem yang tidak menghargai sama sekali ‘dunia kehidupan’.
Tokoh-tokoh pemikir postmodern ini terbagi ke dalam dua model cara berpikir yakni dekonstruktif dan rekonstruktif. Para filsuf sosial berkebangsaan Prancis lebih banyak mendukung cara berpikir postmodern dekonstruktif ini. Para pemikir Perancis itu antara lain: Jean Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Richard Rorty. sementara pemikiran postmodern rekonstruktif dipelopori oleh Teori Kritis Mazhab Frankfurt seperti: Max Horkheimer, Theodor W Adorno, yang akhirnya dilengkapi oleh pemikiran Jurgen Habermas.[5] Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat[6], ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, dan apa yang dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai. Narasi-narasi kecil dibiarkan tumbuh dan menyuarakan suara anekaragamnya.[7]
Singkatnya, menurut Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki dua arti: (1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme, yang dipandang kurang human, dan mau kembali kepada situasi pra-modernisme dan sering ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap yang lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang menjurus ke arah sekularisme.[8]
Fenomena postmodernisme ini memunculkan berbagai macam persoalan tentang peran iman dan agama. Ketika manusia tidak lagi percaya akan rasionalitas yang dianggap telah gagal melanjutkan proyek pencerahannya, maka dunia tidak lagi diatur oleh kebenaran tunggal dan sistem mekanis. Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak dan direlativir, demikian juga agama, teologi dan ajaran iman. Pada saat itulah manusia berada dalam kotak-kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian jatuh kepada ekstrim fundamentalisme dan yang lain ke arah sekularisme. Untuk itu, persoalan dasar dalam dunia postmodern ini pertama-tama adalah soal hermeneutika dan komunikasi. Bahasa menjadi medan hidup yang terus menerus dikembangkan sebagai bagian dari proses hermeneutik dan komunikasi. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup ajaran iman agama, teologi, ataupun narasi-narasi besar lainnya, namun juga terjadi di setiap bidang kehidupan.

3. Postmodernisme dan agama

Apakah kaitan antara postmodernisme dan agama? Apakah arti ‘beriman dan beragama’ di tengah dunia yang postmodernis ini? Beberapa pertanyaan ini mulai mengemuka bagi orang-orang beriman dan beragama di tengah realitas dunia postmodern. Sebab secara langsung, arus gagasan postmodern juga mulai mengkritik serta mempertanyakan apakah agama dan iman tidak justru melanggengkan narasi-narasi besar totaliter modernisme? Jika memang benar demikian, tentu iman dan agama tidak lebih sebagai wujud atau bentuk kegagalan rasionalitas manusia yang menyebabkan manusia terjebak dan diperbudak oleh agama sebagai narasi besar yang bersifat totaliter. Pertanyaan dan kritik tentang agama ini muncul sehubungan dengan klaim kebenaran tunggal dari masing-masing agama tentang keselamatan manusia. Secara khusus lagi, agama-agama itu mendasarkan pada dogma atau ajaran iman yang bersifat metafisik, sesuatu yang jelas ditolak oleh arus pemikiran postmodern. Meski di sisi lain, agama-agama yang beranekaragam itu justru dapat menjadi salah satu realitas postmodern yang mulai menampakkan narasi-narasi kecil beranekaragam (plural).
Pada penjelasan sub bab ini, Romo Tom Jacob berusaha untuk melihat kaitan antara postmodernisme dan agama ini dalam konteks Indonesia. Menurut beliau, postmodernisme di Indonesia memang belum sangat terlihat karena situasi civilization, atau perkembangan IPTEK yang amat pesat belum terjadi di Indonesia. Namun konteks globalisasi dengan ditandai oleh melesatnya perkembangan teknologi komunikasi informasi, kapitalisme global dalam taraf puncak, telah merasuki di hampir setiap dimensi kehidupan masyarakat Indonesia.[9] Konteks inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia pun mulai dirasuki oleh semangat postmodernisme dimana ciri khas dasarnya adalah kejenuhan. Kompleksitas dinamika hidup dalam dunia postmodern tersebut telah menyebabkan sebagian besar masyarakat memiliki mentalitas tak mau repot, dan dangkal. Dalam dunia postmodern yang menyangkal segala bentuk totalitarianisme akal budi tersebut, orang dengan mudah lari ke arah individualisme pragmatis, konsumerisme, dan materialisme.
Pada situasi itulah pertanyaan tentang iman dan agama kembali menjadi penting. Orang mulai bertanya tentang sejauh mana agama merupakan ungkapan iman dan bukan hanya social behavior? Pertanyaan itu akhirnya membawa manusia era postmodern pada pertanyaan lebih lanjut tentang sejauh mana Allah itu real dalam kehidupan seseorang? Mereka mempertanyakan tentang Allah karena mereka percaya bahwa jika segala sesuatu yang ada sekarang ini merupakan usaha pemikiran manusia, maka paham Allah pun pantas untuk dipertanyakan sebab usaha manusia dengan segala akal budinya itu telah menuai kegagalan. Dalam arti ini pulalah mereka bertanya apakah paham Allah pun masih memiliki makna? Jika paham Allah tidak berarti lagi, maka agama juga tidak.[10] Dalam situasi ini dibutuhkan sebuah paham Allah yang real, yang sungguh manusiawi dan berperan langsung terhadap hidup manusia. Dengan demikian, persoalan imanensi dan transendensi kembali menjadi hal yang penting bagi manusia postmodern. Singkatnya, manusia yang hidup dalam mentalitas postmodern ini sungguh memerlukan sebuah pemahaman baru tentang realitas iman dan agama sebagai suatu hubungan real dengan Allah yang real. Pertanyaan tentang Allah yang real itu menjadi hal yang amat krusial dan dibutuhkan oleh orang-orang beriman dan agama di era postmodern.

4. Sekularisme

Salah satu ciri khas mentalitas postmodern adalah sekularisme. Bagi orang tidak beriman, dunia di era postmodern ini melulu merupakan bidang manusiawi, tidak ada kaitannya sama sekali dengan ‘Yang Ilahi’ atau ‘Yang Kudus’. Sedang bagi orang beriman, dalam dunia ini, hal manusiawi (profan, sekular) selalu ada kaitannya dengan ‘Yang ilahi’ atau ‘Yang Kudus’. Sekularisme ini pertama-tama ditandai dengan tidak bermaknanya agama dan iman dalam kehidupan sehari-hari, demikian juga akhirnya Allah. Menurut Romo Tom Jacob, hal ini disebabkan karena kebanyakan orang tidak lagi membedakan iman dan agama. Iman menjadi devosi dan ideologi, tidak lagi sebagai sebuah usaha untuk menyentuh dan menanggapi realitas Transenden. Iman tak lebih sebagai ideologi sosial yang mendapatkan wujud perjuangannya dalam agama sebagai sebuah komunitas sosial sekular. Pada saat itulah pengungkapan pengalaman religius terbatas pada formalisme agama saja. Hidup profan tidak lagi memiliki dimensi religius, ekspresi religius.[11]

5. Fundamentalisme

Realitas sekularisme tetap saja gagal dalam mengusahakan kesejahteraan bersama. Kapitalisme global dan konsumerisme serta materialisme hanya memunculkan kemiskinan pada sekelompok besar manusia. Situasi demikian itu memunculkan sebuah reaksi yang disebut fundamentalisme. Fundamentalisme sendiri muncul sebagai sebuah fenomen kebudayaan yang mengkritik dan menolak sekularisme yang terbukti gagal juga dalam mengusahakan kesejahteraan umat manusia. Istilah fundamentalisme sendiri pertama-tama muncul dalam ranah agama, khususnya teologi.[12] Pada periode selanjutnya, konsep fundamentalisme ini tidak lagi terbatas pada agama Kristiani saja tetapi menyangkut semua agama dan gerakan politik yang hendak mempertahankan ajaran tradisionalnya. Fundamentalisme ini muncul sebagai reaksi atas ketidakpastian era postmodern yang cenderung ‘kabur/tidak pasti’ dan beralih pada pijakan yang pasti dan terjamin.
Pada umumnya, fundamentalisme ini menyangkal kebebasan hati nurani, memperjuangkan etika-moral yang amat individualistis dan konservatif, fanatik yakin memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak toleran terhadap penganut agama maupun pandangan lain.[13] Fundamentalisme ini bisa mengarah ke tindakan primordial dalam tataran etnik. Apabila primordialisme kultural ini menjadi sedemikian kuat, maka fundamentalisme dapat memperalat agama sebagai bentuk reaksi perlawanan terhadap sekularisme. Motivasi pertama-tama memang bukan berlandaskan demi memperjuangkan nilai agama tetapi justru sikap primordialisme etnik. Inilah yang digambarkan oleh Romo Tom Jacob dalam analogi tentang pertentangan antara budaya Barat dan Timur yang diidentikan sebagai pertentangan Kristen dan Islam. Bahkan fundamentalisme yang didasarkan pada agama ini tidak segan-segan menggunakan kekerasan sebagai salah satu jalan mempertahankan sikap fundamentalisnya (fenomena jihad dalam Islam Garis Keras, misalnya). Pertentangan antara sekularisme dan fundamentalisme ini akhirnya akan menyebabkan mengkristalnya pertentangan antar kedua kutub itu karena sekularisme (yang akhirnya juga bersifat fundamentalis) juga menawarkan suatu bentuk ‘alternatif’ ketika agama-agama (fundamentalis) dipandang sebagai sumber kekerasan. Perlawanan ini menimbulkan terbentuknya sekularisme sebagai sebuah ideologi, dan tak lagi hanya sebagai fakta sosial.[14]

6. Peranan teologi moral

Menanggapi situasi demikian, masyarakat manusia hendaknya mengusahakan suatu pemahaman baru dalam hidup beriman dan beragama. Pertama-tama kita perlu menyadari bahwa fundamentalisme muncul karena disintegrasi masyarakat sebagai akibat proses pengasingan dalam kebudayaan modern. Maka fundamentalisme dijawab dengan memberikan suatu alternatif, baik untuk fundamentalisme sendiri maupun untuk sekularisme, bagi masalah disintegrasi itu.[15] Dalam konteks hidup beriman dan beragama, orang membutuhkan suatu teologi moral, yang dari satu pihak sungguh otonom (dan rasional) dan dari lain pihak benar-benar digerakkan oleh iman. Dengan demikian, pengalaman religius dan pertanyaan tentang Allah dipertanggungjawabkan sedemikian rupa dalam ranah moralitas. Pengalaman akan Allah ditemukan dalam pengalaman moral bersama dengan sesamanya di dalam dunia kehidupan.
Dalam ranah ini, teologi metafisik tidak mampu dipertahankan lagi, tetapi mengusahakan teologi yang lebih kritis terhadap situasi sosial. Teologi hendaknya menjadi semacam usaha terus menerus (unfinished project) yang berusaha merefleksikan keterlibatan Allah dalam sejarah keselamatan manusia. Dalam berhadapan dengan realitas postmodern, teologi hendaknya membuat dirinya sendiri dapat dipahami sebagai sebuah teori tindakan komunikatif dimana pengenangan dan antisipasi berlandaskan klaim pada Allah di dalam tindakan Allah di sini serta saat ini sebagai cinta yang absolut bagi orang lain dan diri sendiri (teologi moral).[16] Selanjutnya, menurut Romo Tom Jacob, masalah fundamentalisme, dan dialog dengan kelompok fundamentalis Islam, adalah masalah teologi moral fundamental: Apa dasar bagi tindakan manusia dalam membangun masyarakat yang makmur dan adil?[17]
Dengan kata lain, teologi menjalankan fungsi kritiknya terhadap agama dan teologi sendiri yang selama ini masih mendasarkan pijakan refleksinya pada hal metafisik semacam dogma dan tafsir harafiah Kitab Suci. Dasar refleksi iman dalam teologi tidak lagi ajaran yang sudah fixed dalam tradisi agama tetapi lebih pada pengalaman pribadi orang yang otonom dan relasional di dalam komunitas lokal serta global. Meminjam istilah Romo Tom Jacob, titik tolak refleksi teologis ini adalah antropologi dan bukan kultus atau dogma. Dogma dan Alkitab harus ditanyai oleh permasalahan zaman sekarang.[18] Dalam refleksi teologis berikut, yang penting adalah refleksi teologis praxis-oriented, bukan dalam arti intern-keagamaan tetapi tetapi justru berhubungan dengan tugas kemasyarakatan kaum beriman bersama.[19]
Untuk itulah, refleksi teologis di era postmodern ini tidak dapat tidak bersifat intersubjektif (relational-komunikatif). Artinya, iman dan agama direfleksikan oleh teologi sebagai suatu moral komunikasi yang bertanggungjawab atas keselamatan seluruh umat manusia dan ciptaan lainnya dalam rangka mengenangkan serta mengantisipasi Allah yang bertindak di sini, kini dalam cinta. Teologi dalam dunia postmodern hendaknya bernafaskan dialog. Dalam dialog postmodern ini akan muncul paham Allah yang baru, yakni Allah sebagai dasar pengharapan. Dia adalah Sang Pencipta yang menanggung segala-galanya dengan kasih-Nya.[20]

7. Fundamentalisme Kristiani

Pada pokok bahasan mengenai fundamentalisme Kristiani, Romo Tom Jacob mengulas tentang pokok-pokok persoalan munculnya kaum fundamentalis dalam iman Kristiani. Bagi Romo Tom, pemahaman lebih lanjut mengenai fundamentalisme kristiani ini amat dibutuhkan dalam rangka dialog dalam dunia postmodern. Menurut beliau, pertama-tama kaum fundamentalis kristiani muncul karena keberatan mereka terhadap tafsir Kitab Suci dengan metode historis-kritis. Bagi kaum fundamentalis, tafsir historis kritis dalam Kitab Suci berbahaya bagi pemaknaan atas sabda Allah. Menurut mereka, tafsir ini justru akan memunculkan degradasi iman terhadap Sabda Allah dalam kitab suci. Bagi kaum fundamentalis, Kitab Suci diterima sebagai Sabda Allah yang nyata, dan final sehingga segala bentuk tafsir yang berusaha mempertanyakan Kitab Suci secara historis dan kritis dianggap sebagai rongrongan terhadap iman kristiani. Penafsiran terhadap Kitab Suci pada diri mereka lebih bersifat harafiah tekstual sehingga segala macam bentuk tafsir yang lainnya hanya akan mengaburkan pengertian Kitab Suci yang benar.[21]
Akhirnya fundamentalisme kristiani tidak terbatas pada masalah tafsir KS saja. Sikap fundamentalis ini juga amat terasa di bidang dogmatis dan liturgis, khususnya dalam tradisi Katolik. Di sini yang menjadi masalah juga rumus. Dicari kepastian dan pegangan hidup dalam rumus-rumus, baik dogmatis maupun liturgis, yang tidak dapat berubah. Sikap ini berarti bahwa dicari kepastian dalam institusi Gereja dan tidak dalam iman.[22]

8. Spiritualitas teologis

Untuk menanggapi situasi demikian maka diperlukan suatu perubahan dalam berteologi. Menurut Romo Tom Jacob, fungsi teologi akan berubah; bukan pertama-tama sebagai perumus ajaran (dalam bentuk dogma atau rumus-rumus yang lain), melainkan justru dengan membuka teks-teks bagi pemahaman, dan penghayatan yang baru. Dalam hal ini kiranya dekonstruksi dari filsafat postmodern harus diperhatikan secara serius, dalam arti bahwa tradisi tidak dicari kembali tetapi diungkapkan kembali dalam bentuk yang baru dan sesuai dengan zaman. Maka iman membutuhkan teologi untuk menghindari bahwa iman jatuh ke dalam bentuk devosional (dogmatis dan berpijak pada rumusan) melulu. Teologi harus membantu orang untuk hidup antara kedua pola dari pengalaman dasar dan pengalaman sekarang, antara wahyu pertama dan pengalaman iman aktual. Teologi hendaknya menjadi suatu refleksi autokritik terhadap agama dalam mempertanggungjawabkan imannya yang adalah tanggapan manusia atas wahyu Allah.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh J.B. Metz dalam tulisannya tentang teologi politik yang berjudul The Church’s Social Function in the Light of ‘Political Theology’. Dalam tulisan tersebut, JB Metz mengatakan bahwa teologi politik adalah sebuah usaha untuk selalu merefleksikan iman akan Yesus Kristus bagi praksis pembebasan sosial di masyarakat saat ini. Dengan demikian, teologi tidak berhenti sebagai suatu hal yang normatif doktriner tetapi lebih merupakan kritik sosial yang selalu mengantisipasi atas janji ekstologis keselamatan Yesus Kristus. Dengan demikian, teologi politik juga merupakan sebuah refleksi terus menerus atas hubungan real antara iman Kristiani, gereja, agama dan juga praksis hidup sosial yang membebaskan. Janji eskatologis Yesus Kristus tentang kasih, kedamaian, keadilan dan pembebasan tidak lagi merupakan suatu kata-kata suci yang melulu berdimensi transendental tetapi juga berdimensi imanen. Meski begitu, refleksi ini bukan merupakan sebuah ideologi baru tetapi merupakan cara baru Gereja dalam memandang dan mewujudnyatakan iman akan keselamatan Kristus di tengah dunia sosial yang real.[23] Dengan demikian, teologi politik ini menjadi salah satu wujud dari spiritualitas teologis zaman ini. Singkatnya, teologi harus membantu spiritualitas zaman untuk berkembang dalam kontinuitas dan diskontinuitas, dalam rasionalitas dan irasionalitas, dalam stabilitas dan perubahan sosial.[24]

9. Paham Allah

Akhirnya, paham Allah dalam dunia postmodern lebih merupakan Allah yang real, dinamis, terlibat, komunikatif, dan memberi makna bagi kehidupan manusia. Paham Allah semacam ini amat mendesak bagi realitas zaman postmodern yang ciri dasar mentalitasnya adalah kejenuhan, kedangkalan, dan munculnya ekstrem-ekstrem fundamentalisme. Dalam situasi demikianlah iman dan agama kembali mendapat tantangannya untuk semakin bertanggungjawab terhadap dunia kehidupan. Makna agama dan iman kembali dipertanyakan, dan demikian juga makna Allah. Dengan berkembangnya kritik sosial masyarakat terhadap realitas postmodern dan perlunya sebuah tindakan komunikatif rasional dalam segala bidang, termasuk bidang iman dan agama, maka pemahaman akan Allah pun berciri komunikatif rasional serta bertanggungjawab global. Realitas pluralisme yang takterelakkan juga memberikan suatu paradigma baru dalam memahami Allah sebagai Sang Misteri Absolut yang terlibat dalam hidup manusia (transenden sekaligus imanen). Secara konkret, akhirnya paham Allah hanya dapat ditemukan dalam hati orang yang mengasihi sesamanya. Allah tidak lagi dipahami secara mitis, ontologis yang terlindung dalam selimut hangat dogma ataupun rumus-rumus filosofis teologis, tetapi lebih nyata dan real yang ditemukan dalam cinta kepada sesama ataupun ciptaan lainnya.[25]


10. Daftar Pustaka

1. Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002
2. J.B. Metz, “The Church’s Social Function in the Light of ‘Political Theology” dalam Concilium Vol. 6 No. 4 June 1968
3. Helmut Peukert, “Enlightenment and Theology as Unfinished Projects” dalam Browning, Don S –Francis Schussler Fiorenza (ed), Habermas, Modernity and Public Theology, New York: Crossroad, 1992
4. Ari Purnomo, Y, Narasi Kecil Sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern Menurut Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi, Yogyakarta: FTW, 2006
[1] Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 249
[2] Ibid, hal.249
[3] Ibid, hal. 249-250
[4] Helmut Peukert, “Enlightenment and Theology as Unfinished Projects” dalam Browning, Don S –Francis Schussler Fiorenza (ed), Habermas, Modernity and Public Theology, New York: Crossroad, 1992, hal. 43-44.
[5] Ari Purnomo, Y, Narasi Kecil Sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern Menurut Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi, Yogyakarta: FTW, 2006, hal. 12-13
[6] Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis pada sekitar tahun 1970-an, terlebih ketika Jean Francois Lyotard menulis pemikirannya tentang kondisi legitimasi era postmodern, dimana narasi-narasi besar dunia modern (seperti rasionalisme, kapitalisme, dan komunisme) tidak dapat dipertahankan lagi.
[7] Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 250
[8] Ibid, hal. 250-251
[9] Ibid, hal. 252
[10] Ibid, hal. 253
[11] Ibid, hal. 256
[12] Dalam Buku Paham Allah, Romo Tom Jacob menulis tentang asal usul fundamentalisme yang berasal dari Niagara, Amerika Serikat pada sekitar tahun 1895. Istilah fundamentalisme ini muncul bersama dengan dikeluarkannya pernyataan mengenai ‘five points of fundamentalism’ dari agama Kristiani. Pada awalnya, pernyataan ini muncul sebagai reaksi atas tafsir Kitab Suci Kristiani dengan metode historis-kritis dan terhadap teori evolusi. Pada sekitar tahun 1970-an, kata ‘fundamentalisme’ menjadi begitu umum diberlakukan bagi berbagai macam kelompok, golongan dan aliran yang ingin berpegang teguh pada ajaran dasarnya dan menolak segala bentuk tafsir ataupun aliran lain yang berusaha mengkritik ataupun merelativir ajaran dasar tersebut. Ibid, hal.256-257
[13] Ibid, hal. 257
[14] Ibid, hal. 258
[15] Ibid, hal. 259
[16] Helmut Peukert, “Enlightenment and Theology as Unfinished Projects” dalam Browning, Don S –Francis Schussler Fiorenza (ed), Habermas, Modernity and Public Theology, New York: Crossroad, 1992, hal. 55-56
[17] Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 259
[18] Ibid, hal. 260
[19] Ibid, hal. 260
[20] Ibid, hal. 260
[21] Ibid, hal. 261
[22] Ibid, hal. 262
[23] J.B. Metz, “The Church’s Social Function in the Light of ‘Political Theology” dalam Concilium Vol. 6 No. 4 June 1968, hal. 3-10
[24] Tom Jacob, SJ, Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 266
[25] Ibid, hal. 268

Tidak ada komentar: