Kamis, 26 Maret 2009

Kontroversi UU No.13 Tahun 2003


Pada tanggal 25 Maret 2003 disahkanlah UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan oleh DPR dan Presiden Megawati Soekarno Putri. Sebelum disahkan sebagai UU, Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut telah ditentang oleh para buruh dan serikat buruh karena pasal-pasal yang terkandung di dalamnya sungguh tidak berpihak pada buruh. UU No.13 Tahun 2003 tersebut dirasakan sebagai UU Tenaga Kerja yang lebih berpihak pada pengusaha di era pasar bebas demi pengembangan perekonomian negara. Tujuan di balik disahkannya UU tersebut adalah membuat pasar tenaga kerja di Indonesia semakin murah sehingga para investor mau mengembangkan investasinya di Indonesia. Dengan demikian, harapannya laju pertumbuhan ekonomi nasional melalui hadirnya investasi-investasi tersebut dapat dicapai dengan signifikan. Meski sebenarnya yang terjadi justru amat merugikan pihak buruh karena upah riil semakin rendah dan jaminan kesehteraannya pun tak lagi menjadi prioritas tanggungjawab para investor (pemilik perusahaan). Oleh karena UU ini dinilai masih terdapat pasal-pasal yang tidak memihak para buruh, akhirnya pada tahun 2006 UU tersebut direvisi. Revisi atas UU No.13 Tahun 2003 ini cukup kontroversial mengingat revisi tersebut justru semakin tidak menjamin keadilan bagi para buruh sebagai tenaga kerja. Dua hal krusial yang kontroversial dalam UU maupun revisinya adalah persoalan Hubungan Kerja yang menyangkut tentang kontrak kerja dan hal upah atau pesangon. Dalam hal persoalan kontrak kerja ini, pasal-pasal yang cukup kontroversial dalam revisi UU tersebut antara lain: Pasal 59 ayat (1): Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan yang pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: (a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; (b) pekerjaan yang diperkirakan-penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun; (c) pekerjaan yang bersifat musiman; (d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Kontroversi pada revisi pasal 59 ini adalah: pada ayat 1: pekerjaan yang dilakukan atas dasar jangka waktu tertentu akhirnya tidak hanya menyangkut pekerjaan tertentu tetapi dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan. Dengan demikian, perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja buruh sesuai dengan keinginan produksinya berdasarkan kontrak kerja yang mereka buat, dengan jenis pekerjaan apa saja. Tenaga kerja menjadi komoditi yang sewaktu-waktu bisa dibuang begitu saja dan mengganti dengan tenaga kerja lainnya dengan jaminan hukum yang sama. Tak ada kepastian bagi buruh untuk dapat menjadi seorang tenaga kerja tetap.
Kontroversi selanjutnya atas revisi pasal 59 ini adalah perubahan pada ayat 6 yang tertulis demikian: Dalam hal hubungan kerja diakhiri sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan karena pekerja/ buruh melanggar ketentuan di dalam perjanjian kerja maka pekerja/ buruh tidak berhak atas santunan dan pekerja/ buruh yang bersangkutan wajib membayar ganti rugi kepada pengusaha sebesar upah yang seharusnya diterima sampai berakhirnya PKWT. Amat jelas bahwa ayat ini amat menguntungkan pihak perusahaan karena membebaskan tanggungjawab perusahaan untuk memberikan pesangon bagi buruh yang terputus kontrak kerjanya karena melanggar ketentuan kontrak. Hal ini jelas merugikan pihak pekerja. Pasal ini dapat disalahgunakan oleh pihak perusahaan untuk memutus para buruhnya tanpa harus membayar upah/pesangon dari buruh tetapi justru memberatkan para buruh karena harus membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan. Apa yang dilindungi oleh pasal ini adalah demi produksi, modal, dan kepentingan pengusaha saja.
Pasal revisi selanjutnya cukup kontroversial adalah dihapusnya pasal 35 ayat 3 yang tertulis: Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Dengan dihapusnya ayat dalam pasal ini, jelas bahwa tenaga kerja tidak lagi dijamin kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisiknya. Penghapusan ini menguntungkan pihak pemberi kerja untuk lepas dari tanggungjawab moralnya terhadap perlindungan dan jaminan kesejahteraan para buruh.
Tentu masih ada beberapa pasal-pasal yang cukup kontroversial dalam revisi UU No.13 Tahun 2003 ini. Pembuatan revisi UU ini sendiri disinyalir dikerjakan oleh Bappenas, World Bank dan IMF tanpa menyertaikan Menteri Tenaga Kerja, Pimpinan Serikat Buruh dan Anggota DPR RI/D. Dengan demikian, jelas bahwa UU No.13 Tahun 2003 ini dengan setiap revisi pasal-pasalnya yang kontroversial itu dibuat demi kepentingan pengusaha para pelaku pasar bebas yang mengutamakan produksi dan pemupukan modal. Dalam hal ini, Pemerintah sebagai otoritas pembuat UU mendukung dan menjamin perkembangan investasi dari para pengusaha itu tanpa memperhatikan kesejahteraan para buruh. Dengan kata lain, melalui pasal-pasal kontroversial dalam UU serta revisinya tersebut, Pemerintah telah menjual warga negara mereka sendiri sebagai tenaga kerja murah dengan dalih perkembangan perekonomian bangsa demi pembangunan. Salah satu pembelaan Pemerintah atas jaminan kesejahteraan para buruh ini adalah melalui pemberlakuan UMR (Upah Minimum Regional) bagi para pengusaha. Pemberlakuan UMR ini pun sebenarnya justru memberikan kesempatan bagi para pengusaha untuk memainkan pasar tenaga kerja dengan memilih tenaga kerja dari daerah dengan UMR paling murah. Pemberlakuan UMR ini pun masih bersifat spekulatif karena kebutuhan dasar dan situasi pasar di suatu daerah tertentu bersifat fluktuatif (tidak tentu). Dengan pemberlakuan UMR ini, tenaga kerja dinilai setaraf dengan barang dagangan (komoditas), tentu hal ini sangat tidak adil bagi tenaga kerja yang memiliki daya tawar keahlian, ketrampilan, ataupun kekuatan dalam tingkat paling rendah (para buruh yang tidak memiliki keahlian, ketrampilan, ataupun kekuatan khusus tertentu demi produksi).
Menanggapi berbagai macam kontroversi ini, kiranya perlu ditinjau ulang dan dibuat kesepakatan baru antara para buruh, serikat pekerja, pengusaha, praktisi ekonomi, DPR, dan juga para investor dalam merumuskan revisi UU No.13 Tahun 2003 ini yang lebih adil. Dalam hal ini, pemerintah perlu tegas untuk melawan arus neo-liberal yang semakin mendegradasikan posisi buruh dalam perekonomian negara. Hal ini dapat dilakukan dengan menjamin kesejahteraan buruh dengan memperketat UU yang menyertai praktek outsourcing (hubungan kerja kontrak) atau dengan menghapus sama sekali praktek bisnis tenaga kerja model outsourcing ini. Selain itu dalam hal pemberian upah atau pesangon, perlu diperhatikan juga proporsi antara keuntungan perusahaan dengan gaji atau pesangon bagi para buruh. Dengan kata lain, nilai lebih (keuntungan perusahaan) tidak sepenuhnya masuk ke pundi-pundi pengusaha tetapi digunakan untuk meningkatkan upah buruh. Sebab hal ini juga akan meningkatkan daya beli para buruh yang berarti dapat menggerakkan sektor riil demi mengurangi kemiskinan. Harapannya, tenaga kerja dapat dihargai dengan semestinya.

Tidak ada komentar: