Pemilu Tahun 2009 tinggal beberapa minggu lagi. Dan kampanye terbuka masih bergulir. Dalam kampanye terbuka ini, setiap partai politik maupun caleg-calegnya tengah mensosialisasikan program-program yang mereka susun sebagai agenda politik bagi kemajuan bangsa ini. Berbagai model sosialisasi digunakan untuk menarik perhatian sebanyak mungkin warga agar mengenal, memahami dan akhirnya memberikan suaranya dalam pemilu nanti bagi partai politik dan para caleg itu. Meski kadang yang terjadi dalam kampanye tersebut tidak lebih sebagai ajang kompetisi antar partai dan caleg, namun diharapkan bahwa dengan adanya kampanye tersebut, terjadilah semacam diskursus gagasan, action plan, dan sebuah kontrak politik yang bertujuan untuk membangun bangsa ini di dalam situasi sosial kontemporer masyarakat bangsa Indonesia saat ini.
Pada pemilu tahun 2009 ini terdapat 44 partai politik peserta pemilu. Jumlah partai politik yang mencapai 44 ini tentu amat mencengangkan bagi sebagian orang yang tidak mengerti banyak tentang dunia politik. Bagi mereka, jumlah partai hingga 44 ini mungkin menampakkan adanya harapan tentang penghargaan terhadap keanekaragaman visi dan misi politik serta menjadi tanda akan naiknya tingkat keterlibatan setiap warga dalam dunia politik Indonesia, namun di sisi lain juga memunculkan semacam kecurigaan tentang realitas politik Indonesia pasca Reformasi yang tengah larut dalam eforia demokrasi model kompetisi. Kedua hal ini sangat positif bagi perkembangan kedewasaan demokrasi Indonesia selanjutnya, meski juga menyisakan sebuah pemikiran lebih lanjut tentang konsolidasi nasionalisme yang lebih signifikan. Mengapa harus dengan banyak partai jika setiap warga telah memiliki ‘kesaling pengertian’ tentang cita-cita nasionalisme yang sama demi bonnum communae Indonesia? Apakah tidak mungkin bahwa di balik banyaknya partai politik dengan berbagai macam haluan ideologis dalam visi misi mereka itu terdapat kenyataan bahwa kekuasaan di Indonesia merupakan hal yang prinsipiil untuk diperebutkan demi kepentingan golongan tertentu. Jika memang demikian adanya, tentu hal ini justru akan semakin mempersulit proses pencapaian bonnum communae itu, disamping juga justru membingungkan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi politiknya dalam pemilu.
Menyikapi banyaknya tawaran agenda politik yang diusung oleh para partai politik dan caleg-caleg itu, saya ingin mengusulkan kriteria-kriteria yang mungkin bagi para pemilih semuanya berkaitan dengan tanggungjawab sosial yang mesti mereka berikan dalam pemilu. Kriteria-kriteria yang saya usulkan ini merupakan sebuah pandangan yang bisa digunakan untuk menentukan pilihan kepada siapa dan partai apa suara kita hendak kita berikan berkaitan dengan tanggungjawab sosial demi bonnum communae. Kriteria-kriteria berikut hendaknya dimiliki oleh para partai dan para caleg yang kepada merekalah suara kita baik untuk diberikan. Memang kriteria-kriteria berikut ini amat idealis, akan tetapi paling tidak dengan mendasarkan pilihan kita pada kriteria-kriteria berikut, kita (paling tidak saya) telah memberikan tanggung jawab etis moral sebagai warga negara yang turut terlibat dalam kemajuan bangsa. Pertama-tama, saya mengajak kita semua untuk MEMILIH PARTAI DAN CALEG YANG MENJUNJUNG TINGGI HAM. Atau paling tidak memilih caleg dan partai yang paling sedikit bias kepentingan golongannya sendiri demi Menjunjung tinggi HAM universal. Lebih lanjut, partai politik dan caleg yang dapat kita pilih adalah:
- Partai politik dan caleg yang dengan tulus serta konsisten peka terhadap persoalan-persoalan seputar menjunjung tinggi HAM di Indonesia seperti misalnya: penanganan kasus penggusuran kaki-lima dan gelandangan, perlindungan terhadap para aktivis HAM seperti Munir dkk, memperhatikan korban bencana seperti Lumpur Lapindo, pendidikan berkelanjutan bagi rakyat miskin (dengan beasiswa misalnya), menangani kasus kekurangan gizi bagi anak-anak dengan program konkret dan berkesinambungan, memberi perhatian bagi para TKI, menggiatkan LSM-LSM yang memperhatikan tentang HAM seperti: penanganan kasus trafficking, kaum buruh, PRT, dan ancaman ekses buruk dari globalisasi.
- Partai politik dan caleg yang dengan tulus serta konsisten untuk bersikap tegas terhadap pemberantasan korupsi, menindak tegas secara hukum terhadap para spekulan-spekulan yang mengabdi secara total terhadap kapitalisme global, dan juga menertibkan para konglomerat yang tidak taat pajak.
- Partai politik dan caleg yang dengan tulus serta konsisten berusaha untuk menekankan efisiensi serta efektivitas energi/Sumber Daya Alam. Dalam hal ini, kepentingan partai mengarah pada usaha untuk menindak tegas para pengusaha/investor yang melakukan produksi dengan mengeksploitasi lingkungan alam dan sumber dayanya demi capital, sebagai contoh misalnya: illegal logging.
- Partai politik dan caleg yang dengan tulus, konsisten dan berani untuk menghentikan proyek-proyek pemerintah yang tidak memperhatikan keseimbangan ekologis serta jaminan masa depan warganya, yakni seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang jelas-jelas memiliki efek buruk ke masa depan. Hal ini juga terjadi pada pertambangan yang cenderung eksploitatif seperti tambang mineral, air minum, dan pasir di Merapi.
- Partai politik dan caleg yang dengan tulus, konsisten dan mau ‘berkotor tangan’ untuk memelihara budaya-budaya lokal berikut local wisdom yang telah ada.
- Partai politik dan caleg yang berjiwa nasionalis Indonesia, memiliki penghargaan terhadap sejarah bangsa, perjuangan para pahlawan, terbuka terhadap realitas pluralisme Indonesia dan bernalar dialogis. Hal ini didukung oleh suatu sikap menjunjung tinggi etika politik dengan kesadaran bahwa political action pertama-tama adalah demi bonum communae (kesejahteraan bangsa) dan bukan demi kepentingan golongan atau kepentingan partai/individu.
- Parta politik dan caleg yang mampu bersikap kritis terhadap kekuasaan. Kekuasaan bukan pertama-tama sebagai tujuan dari political action/political decision, tetapi lebih sebagai sarana pengabdian demi bonum communae dan menjunjung tinggi harkat martabat segenap warga.
- Partai politik dan caleg yang berkomitmen untuk menjamin terciptanya hukum yang adil berdasarkan rasionalitas komunikatif dimana warga dipandang sebagai sesama subjek. Dengan demikian, proses politik adalah relasi inter-subjektif yang didasari oleh penghargaan atas kemerdekaan pribadi serta rekonsiliasi terus menerus (social reconciliation as unfinished political project).
- Akhirnya, kita bisa memilih partai politik dan caleg yang berkomitmen untuk terus menerus mengusahakan proses internalisasi nilai-nilai dan falsafah Pancasila sebagai dasar dari setiap political action di Indonesia sesuai dengan konteks sosial yang ada. Komitmen ini didukung dengan sikap beriman yang rasional dan kritis dalam rangka mempertanggungjawabkan kepercayaan warga yang telah mewakilkan suaranya pada partai politik serta caleg itu.
Majulah Indonesiaku. Kau kucinta dalam setiap detak nadiku.
Salam,
yohanes ari purnomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar