Sebuah indikasi yang baikkah saat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengambil alih kasus BLBI dari Kejaksaan Agung karena diketahui bahwa ternyata pihak Kejaksaan terlibat dalam kasus penyuapan? Ataukah kasus ini justru mengungkapkan telah sebegitu buruknya kondisi hukum dan peradilan di negeri ini?
Dari satu kasus dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang penilaian. Bisa jadi keputusan dari KPK untuk mengambil alih kasus BLBI merupakan pilihan yang tepat sekaligus menjadi semacam indikasi mulai ditegakkannya pemberantasan korupsi di negeri ini. Akan tetapi dengan terjadinya kasus penyuapan terhadap salah seorang anggota Kejaksaan Agung ini cukup menjadi bukti bahwa hukum di negeri ini belum begitu ditegakkan dengan semestinya. Hukum yang dibuat demi kesejahteraan bersama justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi ataupun sekelompok orang. Ironis memang, ketika kita berhadapan dengan begitu banyak warga negara ini yang menderita karena berbagai bencana seperti korban Lumpur Lapindo, tanah longsor, banjir, dan kemiskinan struktural, masih saja ada sebagian orang yang tega memanfaatkan uang negara demi kepentingan pribadi. Meski akhirnya para pelaku korupsi itu tertangkap dan diadili, namun seakan hukum di negeri ini tidak pernah berpihak pada orang-orang yang menderita itu. Orang-orang yang menderita itu justru menjadi korban dari kesewenang-wenangan dari sebagian orang yang menggunakan hukum sebagai penjamin status quo kekuasaannya. Akses untuk memperjuangkan hak-hak dari para korban dalam memperoleh kesejahteraan seringkali berakhir sia-sia di hadapan hukum. Itulah salah satu kelemahan sistem hukum di Indonesia ini yang sama sekali tidak berpihak pada orang miskin, salah satu contohnya adalah adanya Undang-Undang Penertiban Pengemis, Gelandangan dan Pedagang Kaki Lima. Mengapa tidak ada hukum yang mengatur tentang Pemeliharaan atas para gelandangan, anak jalanan, pengemis, tunawisma, pengangguran, dan tunjangan bagi para keluarga miskin? Mengapa tidak pernah ada hukum yang mengatur tentang tanggung jawab pemerintah untuk memberantas kemiskinan struktural dengan menindak tegas para pelaku korupsi?
Memang dengan adanya hukum yang lebih memperhatikan kesejahteraan kaum tertindas tidak serta merta menjamin terciptanya keadilan sosial. Hukum itu hanya menjadi salah satu instrumen untuk menjamin terwujudnya keadilan, namun salah satu aspek yang penting juga untuk diperhatikan adalah sistem internalisasi hukum ke dalam mentalitas segenap warga masyarakat. Selama ini, sistem internalisasi yang terjadi hanya sebatas menyangkut sisi luar dari hukum, dalam arti sisi performativitas hukum. Internalisasi belum menyentuh bagian inti (hakikat) dari hukum tersebut. Internalisasi yang hanya menyentuh bagian luar dari suatu nilai hanya akan berakhir pada tumpulnya suara hati. Hukum hanya dipandang sebagai kumpulan petunjuk agar terhindar dari sanksi sosial sekaligus sebagai bentuk legitimasi untuk melindungi kepentingan tertentu meski secara hakiki mengingkari kebenaran. Dalam hal ini, kebenaran belum menjadi realitas tertinggi yang harus dijunjung tinggi oleh hukum. Hukum seperti ini hanyalah menjunjung tinggi realitas konsensus atas dasar kepentingan dari pihak-pihak tertentu yang berkuasa. Dengan demikian, rakyat miskin dan masyarakat yang tak mampu bersuara akan selalu menjadi korban.
Kasus-kasus semacam: tidak terperhatikannya korban Lumpur Lapindo; korupsi di Kejaksaan Agung; Ilegal Logging; penggusuran paksa demi ketertiban kota; tidak terperhatikannya para anak jalanan, gelandangan, dan warga miskin perkotaan; serta bencana-bencana yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan; dan tidak tuntasnya pengadilan terhadap kasus mantan Presiden Suharto merupakan bagian dari tidak adanya sistem internalisasi hukum yang kondusif di negeri ini. Agama dan kebijaksanaan lokal (local wisdom) pun mulai mengalami kedangkalan makna dan fungsinya sebagai acuan moral yang menjadi agen internalisasi kebenaran dalam hukum ini. Lantas apakah hidup sejahtera di negeri ini adalah sebuah utopia? Salah satu hal yang masih selalu menjadi pengharapan adalah keberanian untuk menyuarakan adanya ketertindasan dan ketidakadilan di negeri ini oleh berbagai pribadi maupun lembaga. Meski terkesan utopis, namun sedikit demi sedikit kesadaran untuk selalu berbenah akan tumbuh mulai dari akar rumput. Setidaknya, para korban itu mulai menyadari realitas dirinya sebagai korban dan mau berjuang untuk bangkit bersama sebagai sebuah komunitas alternatif tanpa harus menyimpan sakit hati karena telah ‘dikorbankan’ oleh hukum yang ada. Oleh karena itu, peran media juga begitu penting untuk mendukung internalisasi ini. Anehnya, di Indonesia ini tidak banyak media yang berani menyuarakan tentang realitas ketertindasan sebagai fakta yang harus diangkat sebagai tema keadilan hukum. Membebaskan masyarakat yang tertindas agar memperoleh keadilan adalah salah satu nilai kebenaran yang harus dijunjung tinggi oleh hukum dan diterapkan dengan bantuan segala perangkat penegaknya. Sebuah kritik tentunya patut dialamatkan bagi media-media yang hanya mengungkapkan fakta-fakta besar namun tidak menyentuh inti dasar kebenaran yang hendak disampaikan yakni keadilan sosial. Meski begitu, kritik terhadap media ini juga harus melewati autokritik terlebih dahulu bahwa mungkin saja media-media tersebut telah terjalin dalam sebuah konstelasi kekuasaan dan mentalitas orang/kelompok tertentu yang berkuasa dalam memanfaatkan hukum demi kepentingan tertentu. Meski demikian, semoga dengan mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi di masyarakat kita, internalisasi kebenaran dalam hukum semakin menggerakkan kesadaran setiap orang untuk berjuang demi keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar