Memikirkan dan mencoba membenahi terus menerus situasi kebangsaan kita saat ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak dimensi yang mesti diperhatikan dan dibenahi. Meski begitu, pertama-tama kita pantas bersyukur bahwa Indonesia adalah negara dengan karakter unik yang kaya akan keanekaragaman budaya, tradisi, agama, bahkan juga mentalitas. Bangsa Indonesia terkenal dengan falsafah Pancasila yang merupakan representasi cita-cita setiap manusia yang mengaku diri orang Indonesia. Pancasila menjadi arah dasar (visi misi) bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Memang, dengan melahirkan Pancasila, Indonesia berusaha untuk melepaskan diri dari pengaruh ‘pertempuran’ ideologi yang terjadi antara negara-negara Barat dan Timur. Namun apakah Pancasila sungguh telah mampu merangkum cita-cita setiap manusia yang menamakan diri sebagai bangsa Indonesia ini? Apakah Pancasila juga merupakan visi misi yang membebaskan posisi Indonesia untuk tidak terlibat dalam pertentangan ‘ideologi’ negara-negara di dunia?
Mentalitas Orang Indonesia dibentuk oleh Luka Batin Sejarah
Mungkin memang benar bahwa Indonesia era Kemerdekaan dengan Indonesia sekarang ini sungguh sudah sangat berbeda. Namun apakah cita-cita yang menjadi arah dasar lahirnya negara ini juga mesti harus musnah begitu saja seiring dengan munculnya hal-hal baru yang tak terduga? Apakah bangsa Indonesia saat ini perlu merumuskan kembali sikap-sikap kebangsaannya sebagai wujud bahwa Indonesia itu memang benar-benar ada. Tentu hal ini tidak perlu dilakukan. Namun entah kenapa hingga saat ini, persatuan sebagai sebuah bangsa Indonesia masih amat dangkal dan terkesan gagal karena munculnya banyak keprihatinan-keprihatinan yang bersumber dari keanekaragaman dan keterbedaan. Tentu meletakkan kesalahan kepada keanekaragaman dan keterbedaan bukanlah sebuah jawaban dan keputusan yang cukup bijaksana. Untuk mengenali secara lebih jeli tentang realitas keprihatinan-keprihatinan yang ada dalam negeri ini, kita perlu melihat lebih dalam tentang sejarah kita sebagai satu bangsa. Realitas kemiskinan, fundamentalisme agama/golongan, konflik etnis, korupsi, kolusi, nepotisme, politik kotor (dengan uang), individualisme, materialisme, kekerasan militeristik, dan diskriminasi terhadap ras/daerah tertinggal telah menjadi indikasi bahwa sikap kebangsaan kita masih harus terus diperjuangkan. Hal utama yang menyebabkan masih munculnya realitas-realitas berikut dalam skala yang cukup besar dan berkesinambungan adalah persoalan mentalitas orang Indonesia. Mentalitas macam apakah yang menjadi salah satu indikasi munculnya keprihatinan-keprihatinan tersebut?
Salah satu mentalitas orang Indonesia yang masih begitu kuat tertanam dalam diri sebagian besar orang Indonesia adalah mentalitas priyayi. Hampir seluruh etnis di Indonesia ini memandang bahwa kekayaan material dan sosial menjadi orientasi dasar dalam pencapaian makna hidup. Bagaimana kekayaan material dan sosial ini diperjuangkan? Tentu ada berbagai macam cara. Salah satu karakter mentalitas orang Indonesia berikutnya adalah berjuang dengan segala cara untuk memperoleh kekayaan material dan sosial ini. Mentalitas ini terbentuk sejak zaman kolonial menancapkan cengkeram cakarnya di bumi Nusantara ini. Mentalitas priyayi yang diharapkan dan didambakan oleh orang Indonesia pada umumnya merupakan ekspresi luka-luka batin atas rasa inferior yang pernah dialami saat masa pendudukan imperialisme. Mentalitas itu begitu dalam tertanam sehingga generasi-generasi berikutnya pun masih memiliki luka-luka batin ini. Entah sampai pada generasi keberapakah orang Indonesia mampu melepaskan efek dari luka-luka batin ini. Sebagai contoh misalnya: Pada sebagian besar orang Jawa masih diyakini bahwa menjadi guru atau pejabat pemerintahan memiliki status sosial yang lebih tinggi di masyarakat meski dalam hal kinerja (pelayanan kepada publik) sungguh tidak dapat dibandingkan dengan para petani yang telah bekerja keras untuk menyediakan bahan pangan, ada keyakinan bahwa menjadi tentara memiliki status sosial yang tinggi meski jika dilihat dari keterlibatannya untuk membangun negara dan bangsa, tentara kita masih banyak yang di bawah standar professional. Tentu masih ada banyak contoh-contoh yang lain tentang hal ini, termasuk juga: keinginan untuk menjadi lurah atau caleg harus diwujudkan dengan mengeluarkan uang banyak demi membayar suara para warganya agar memilih dirinya. Jika, mentalitas bangsa ini masih demikian, tentu realitas-realitas keprihatinan itu hanya akan berkembang biak dengan modifikasi yang baru.
Salah satu mentalitas orang Indonesia yang lain, yang kiranya patut diperhatikan untuk semakin mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah mentalitas individualistis dan primordial. Meski mengetahui bahwa Indonesia terdiri dari beranekaragam budaya, agama, tradisi, ras, dsb; orang Indonesia jarang sekali memanfaatkan kekayaan itu demi suatu kekreativitasan untuk membentuk sebuah komunitas yang kuat dan saling melengkapi, tetapi justru saling menjegal dan menjadikan perbedaan ini sebagai bentuk legitimasi untuk melenyapkan suatu golongan yang minoritas dan tidak sesuai dengan patron dari penguasa nan otoriter dan individualistis. Mungkin mentalitas ini juga dipengaruhi oleh sejarah politik kolonial era pra-Kemerdekaan yang sering kali menerapkan politik mengadu domba warga demi melanggengkan status quo penguasa. Yang terjadi adalah survival for the fittest. Hal ini masih amat banyak ditemukan dalam hidup sehari-hari di masyarakat kita. Dengan demikian, Indonesia bukan lagi sebuah negara yang melindungi setiap warganya, tetapi lebih seperti rimba raya dengan hukumnya yang tak menguntungkan bagi warga yang jelas-jelas lemah dan tersingkir. Hal yang sama juga terjadi dalam proses pemilu misalnya: sejak era Reformasi 1998 bergulir, muncul partai-partai baru yang memiliki berbagai macam visi misi dengan janji-janji indah tentang pembangunan bangsa yang lebih adil, sejahtera dan makmur. Namun kenyataan sebenarnya adalah sebuah panggung pertikaian elit demi memperoleh kekuasaan. Entah kenapa, sebagai satu bangsa yang berdaulat, selama ini perbedaan dan keanekaragaman belumlah sebagai suatu hal yang saling melengkapi dan memperkaya tetapi justru sebagai alasan untuk mengalahkan dan meminggirkan kelompok yang ‘berbeda dan kecil’ (minoritas). Entah kenapa tidak terjadi sebuah koalisi kebangsaan yang sungguh-sungguh berkomitmen untuk mengusahakan persatuan sesungguhnya.
Tim Nasional Sepakbola Indonesia sebagai Gambaran Mentalitas orang Indonesia?
Mungkin anggapan bahwa Tim Nasional Sepakbola kita merupakan sebuah gambaran mentalitas orang Indonesia pada umumnya adalah anggapan yang sarkastis dan sinis serta tidak berdasar. Mungkin juga anggapan ini adalah anggapan yang ngawur. Tetapi apa salahnya jika kita merenungkan Indonesia dari realitas Tim Nasional Sepakbola kita yang jarang (bahkan hampir tidak pernah) mendapat gelar dalam kejuaraan Internasional. Tim Nasional sepakbola bukan hanya terdiri dari para pemain saja, tetapi juga melibatkan struktur kepengurusan tim (managemen), model pembinaan, pengkaderan, strategi permainan, sistem tim, dan juga sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Sebagai sebuah tim, sudah selayaknya perjuangan untuk memperoleh sebuah titel kejuaraan tertentu harus didukung oleh keserasian dan keselarasan perjuangan anggota-anggota di dalamnya; mulai dari pemain hingga hal-hal kecil lainnya seperti perawatan fisik pemain, sarana dan prasarana serta hal-hal lainnya. Jika komponen-komponen itu telah dipersiapkan dengan baik, maka perjuangan akan terasa lebih ringan dan membebaskan. Apabila akhirnya perjuangan itu tidak membuahkan hasil yang baik, maka dengan rendah hati, tim akan mengakui bahwa tim musuh ternyata lebih kuat dan lebih terkoordinasi, sehingga tidak justru menyalahkan anggota tim sendiri. Itulah yang terjadi di negara kita Indonesia. Seringkali kita meletakkan kesalahan kepada sebuah komponen (anggota/warga) jika akhirnya kegagalan yang ditemui. Belumlah ada kesatuan yang cukup padu dalam memperjuangkan sesuatu. Jika demikian, tidak aneh jika Tim Nasional kita seringkali kalah dalam kejuaraan-kejuaraan Internasional justru ketika kita sudah sampai ke babak final. Salah satu indikasi yang terlihat adalah tidak padunya antar komponen dalam melakukan perjuangan meraih kemenangan. Hal yang sama terjadi di negeri kita ini, salah satu contohnya: ketika para usahawan, para petani dan para karyawan swasta bekerja giat demi memperkembangkan perekonomian maupun pendidikan bangsa, para pegawai negeri sipil justru tidak menunjukkan sikap professional dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik dengan praktek-praktek korupsi, malas-malasan, tidak kreatif (menunggu perintah atasan), dsb. Jika demikian halnya, kemajuan Indonesia tetap sebagai sebuah utopia.
Lalu Kita Bisa Buat Apa?
Mungkin terlalu muluk-muluk jika kita ngomong tentang reformasi mentalitas bangsa. Apaan tu? Salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan mengusahakan agar kritis dengan diri sendiri (selalu melakukan otokritik) secara obyektif. Sebagai bagian dari bangsa ini, kita bisa menyumbang sikap kritis dan otokritik kita demi penyembuhan luka-luka batin sejarah yang telah membentuk mentalitas yang kurang mendukung bagi pembangunan bangsa. Hal ini bisa dimulai di tingkat keluarga dan basis hidup masyarakat skala kecil. Semangat komuniter dalam keberanekaragaman mulai dipupuk dalam mentalitas generasi selanjutnya. Rasa aman perlu diberikan untuk menjamin penyembuhan luka-luka batin ini dengan mengedepankan semangat berbagi tanpa melihat latar belakang, justru yang paling miskin, bodoh, dan tersingkir perlu mendapat prioritas pelayanan. Mungkin juga, slogan-slogan nasionalis, agamis, reformis, religius, sekularis dan sikap-sikap primordial lainnya perlu dikritisi dan diluruskan. Dalam arti ini, orang sungguh-sungguh menyadari secara lebih dalam apa arti identitas sebagai bangsa Indonesia terlebih dahulu sebelum ia mengungkapkan identitas primordialnya. Tujuannya yakni untuk menyatukan visi dan misi bangsa sebagai satu warga yang memiliki cita-cita sama yakni demi semakin sejahtera dan adilnya masyarakat Indonesia. Orang-orang Indonesia memiliki kemampuan akan hal itu. Salah satu mentalitas yang sungguh sangat membantu dalam pencapaian usaha ini adalah semangat belajar yang tinggi serta terbuka akan segala hal yang ada. Dan orang Indonesia memiliki hal itu.
Mentalitas Orang Indonesia dibentuk oleh Luka Batin Sejarah
Mungkin memang benar bahwa Indonesia era Kemerdekaan dengan Indonesia sekarang ini sungguh sudah sangat berbeda. Namun apakah cita-cita yang menjadi arah dasar lahirnya negara ini juga mesti harus musnah begitu saja seiring dengan munculnya hal-hal baru yang tak terduga? Apakah bangsa Indonesia saat ini perlu merumuskan kembali sikap-sikap kebangsaannya sebagai wujud bahwa Indonesia itu memang benar-benar ada. Tentu hal ini tidak perlu dilakukan. Namun entah kenapa hingga saat ini, persatuan sebagai sebuah bangsa Indonesia masih amat dangkal dan terkesan gagal karena munculnya banyak keprihatinan-keprihatinan yang bersumber dari keanekaragaman dan keterbedaan. Tentu meletakkan kesalahan kepada keanekaragaman dan keterbedaan bukanlah sebuah jawaban dan keputusan yang cukup bijaksana. Untuk mengenali secara lebih jeli tentang realitas keprihatinan-keprihatinan yang ada dalam negeri ini, kita perlu melihat lebih dalam tentang sejarah kita sebagai satu bangsa. Realitas kemiskinan, fundamentalisme agama/golongan, konflik etnis, korupsi, kolusi, nepotisme, politik kotor (dengan uang), individualisme, materialisme, kekerasan militeristik, dan diskriminasi terhadap ras/daerah tertinggal telah menjadi indikasi bahwa sikap kebangsaan kita masih harus terus diperjuangkan. Hal utama yang menyebabkan masih munculnya realitas-realitas berikut dalam skala yang cukup besar dan berkesinambungan adalah persoalan mentalitas orang Indonesia. Mentalitas macam apakah yang menjadi salah satu indikasi munculnya keprihatinan-keprihatinan tersebut?
Salah satu mentalitas orang Indonesia yang masih begitu kuat tertanam dalam diri sebagian besar orang Indonesia adalah mentalitas priyayi. Hampir seluruh etnis di Indonesia ini memandang bahwa kekayaan material dan sosial menjadi orientasi dasar dalam pencapaian makna hidup. Bagaimana kekayaan material dan sosial ini diperjuangkan? Tentu ada berbagai macam cara. Salah satu karakter mentalitas orang Indonesia berikutnya adalah berjuang dengan segala cara untuk memperoleh kekayaan material dan sosial ini. Mentalitas ini terbentuk sejak zaman kolonial menancapkan cengkeram cakarnya di bumi Nusantara ini. Mentalitas priyayi yang diharapkan dan didambakan oleh orang Indonesia pada umumnya merupakan ekspresi luka-luka batin atas rasa inferior yang pernah dialami saat masa pendudukan imperialisme. Mentalitas itu begitu dalam tertanam sehingga generasi-generasi berikutnya pun masih memiliki luka-luka batin ini. Entah sampai pada generasi keberapakah orang Indonesia mampu melepaskan efek dari luka-luka batin ini. Sebagai contoh misalnya: Pada sebagian besar orang Jawa masih diyakini bahwa menjadi guru atau pejabat pemerintahan memiliki status sosial yang lebih tinggi di masyarakat meski dalam hal kinerja (pelayanan kepada publik) sungguh tidak dapat dibandingkan dengan para petani yang telah bekerja keras untuk menyediakan bahan pangan, ada keyakinan bahwa menjadi tentara memiliki status sosial yang tinggi meski jika dilihat dari keterlibatannya untuk membangun negara dan bangsa, tentara kita masih banyak yang di bawah standar professional. Tentu masih ada banyak contoh-contoh yang lain tentang hal ini, termasuk juga: keinginan untuk menjadi lurah atau caleg harus diwujudkan dengan mengeluarkan uang banyak demi membayar suara para warganya agar memilih dirinya. Jika, mentalitas bangsa ini masih demikian, tentu realitas-realitas keprihatinan itu hanya akan berkembang biak dengan modifikasi yang baru.
Salah satu mentalitas orang Indonesia yang lain, yang kiranya patut diperhatikan untuk semakin mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara ini adalah mentalitas individualistis dan primordial. Meski mengetahui bahwa Indonesia terdiri dari beranekaragam budaya, agama, tradisi, ras, dsb; orang Indonesia jarang sekali memanfaatkan kekayaan itu demi suatu kekreativitasan untuk membentuk sebuah komunitas yang kuat dan saling melengkapi, tetapi justru saling menjegal dan menjadikan perbedaan ini sebagai bentuk legitimasi untuk melenyapkan suatu golongan yang minoritas dan tidak sesuai dengan patron dari penguasa nan otoriter dan individualistis. Mungkin mentalitas ini juga dipengaruhi oleh sejarah politik kolonial era pra-Kemerdekaan yang sering kali menerapkan politik mengadu domba warga demi melanggengkan status quo penguasa. Yang terjadi adalah survival for the fittest. Hal ini masih amat banyak ditemukan dalam hidup sehari-hari di masyarakat kita. Dengan demikian, Indonesia bukan lagi sebuah negara yang melindungi setiap warganya, tetapi lebih seperti rimba raya dengan hukumnya yang tak menguntungkan bagi warga yang jelas-jelas lemah dan tersingkir. Hal yang sama juga terjadi dalam proses pemilu misalnya: sejak era Reformasi 1998 bergulir, muncul partai-partai baru yang memiliki berbagai macam visi misi dengan janji-janji indah tentang pembangunan bangsa yang lebih adil, sejahtera dan makmur. Namun kenyataan sebenarnya adalah sebuah panggung pertikaian elit demi memperoleh kekuasaan. Entah kenapa, sebagai satu bangsa yang berdaulat, selama ini perbedaan dan keanekaragaman belumlah sebagai suatu hal yang saling melengkapi dan memperkaya tetapi justru sebagai alasan untuk mengalahkan dan meminggirkan kelompok yang ‘berbeda dan kecil’ (minoritas). Entah kenapa tidak terjadi sebuah koalisi kebangsaan yang sungguh-sungguh berkomitmen untuk mengusahakan persatuan sesungguhnya.
Tim Nasional Sepakbola Indonesia sebagai Gambaran Mentalitas orang Indonesia?
Mungkin anggapan bahwa Tim Nasional Sepakbola kita merupakan sebuah gambaran mentalitas orang Indonesia pada umumnya adalah anggapan yang sarkastis dan sinis serta tidak berdasar. Mungkin juga anggapan ini adalah anggapan yang ngawur. Tetapi apa salahnya jika kita merenungkan Indonesia dari realitas Tim Nasional Sepakbola kita yang jarang (bahkan hampir tidak pernah) mendapat gelar dalam kejuaraan Internasional. Tim Nasional sepakbola bukan hanya terdiri dari para pemain saja, tetapi juga melibatkan struktur kepengurusan tim (managemen), model pembinaan, pengkaderan, strategi permainan, sistem tim, dan juga sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Sebagai sebuah tim, sudah selayaknya perjuangan untuk memperoleh sebuah titel kejuaraan tertentu harus didukung oleh keserasian dan keselarasan perjuangan anggota-anggota di dalamnya; mulai dari pemain hingga hal-hal kecil lainnya seperti perawatan fisik pemain, sarana dan prasarana serta hal-hal lainnya. Jika komponen-komponen itu telah dipersiapkan dengan baik, maka perjuangan akan terasa lebih ringan dan membebaskan. Apabila akhirnya perjuangan itu tidak membuahkan hasil yang baik, maka dengan rendah hati, tim akan mengakui bahwa tim musuh ternyata lebih kuat dan lebih terkoordinasi, sehingga tidak justru menyalahkan anggota tim sendiri. Itulah yang terjadi di negara kita Indonesia. Seringkali kita meletakkan kesalahan kepada sebuah komponen (anggota/warga) jika akhirnya kegagalan yang ditemui. Belumlah ada kesatuan yang cukup padu dalam memperjuangkan sesuatu. Jika demikian, tidak aneh jika Tim Nasional kita seringkali kalah dalam kejuaraan-kejuaraan Internasional justru ketika kita sudah sampai ke babak final. Salah satu indikasi yang terlihat adalah tidak padunya antar komponen dalam melakukan perjuangan meraih kemenangan. Hal yang sama terjadi di negeri kita ini, salah satu contohnya: ketika para usahawan, para petani dan para karyawan swasta bekerja giat demi memperkembangkan perekonomian maupun pendidikan bangsa, para pegawai negeri sipil justru tidak menunjukkan sikap professional dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik dengan praktek-praktek korupsi, malas-malasan, tidak kreatif (menunggu perintah atasan), dsb. Jika demikian halnya, kemajuan Indonesia tetap sebagai sebuah utopia.
Lalu Kita Bisa Buat Apa?
Mungkin terlalu muluk-muluk jika kita ngomong tentang reformasi mentalitas bangsa. Apaan tu? Salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan mengusahakan agar kritis dengan diri sendiri (selalu melakukan otokritik) secara obyektif. Sebagai bagian dari bangsa ini, kita bisa menyumbang sikap kritis dan otokritik kita demi penyembuhan luka-luka batin sejarah yang telah membentuk mentalitas yang kurang mendukung bagi pembangunan bangsa. Hal ini bisa dimulai di tingkat keluarga dan basis hidup masyarakat skala kecil. Semangat komuniter dalam keberanekaragaman mulai dipupuk dalam mentalitas generasi selanjutnya. Rasa aman perlu diberikan untuk menjamin penyembuhan luka-luka batin ini dengan mengedepankan semangat berbagi tanpa melihat latar belakang, justru yang paling miskin, bodoh, dan tersingkir perlu mendapat prioritas pelayanan. Mungkin juga, slogan-slogan nasionalis, agamis, reformis, religius, sekularis dan sikap-sikap primordial lainnya perlu dikritisi dan diluruskan. Dalam arti ini, orang sungguh-sungguh menyadari secara lebih dalam apa arti identitas sebagai bangsa Indonesia terlebih dahulu sebelum ia mengungkapkan identitas primordialnya. Tujuannya yakni untuk menyatukan visi dan misi bangsa sebagai satu warga yang memiliki cita-cita sama yakni demi semakin sejahtera dan adilnya masyarakat Indonesia. Orang-orang Indonesia memiliki kemampuan akan hal itu. Salah satu mentalitas yang sungguh sangat membantu dalam pencapaian usaha ini adalah semangat belajar yang tinggi serta terbuka akan segala hal yang ada. Dan orang Indonesia memiliki hal itu.